Sabtu, 18 Desember 2010

JOSH....

Stan yang baru pulang dari studio menatap kamarnya yang terbuka dengan mata terbelalak. Senyum lebar yang sedianya terlukis di bibirnya lenyap digantikan raut keheranan dan keterkejutan. Kamar itu, yang biasanya rapi, kini berantakan. Sebuah koper besar tergeletak di atas ranjang. Josh, kekasihnya duduk di samping koper itu, sibuk mengemasi barang-barangnya.
“Josh?” panggil Stan heran. Rasa terkejut masih belum sirna dari wajahnya. “Kenapa kaubereskan barang-barangmu?”
Josh mengangkat wajahnya, rasa bersalah terpancar jelas dari kedua bola matanya. “Aku...”
“Kau mau pergi kemana?” berondong Stan. Kegalauan tiba-tiba menyergap hatinya.
Stan diam beberapa saat. “Sori, Stan...” Akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari bibir indahnya. “Sori...tapi aku sudah memutuskan, kita lebih baik berpisah saja.”
Stan mematung di tempatnya mendengar jawaban Josh. Berpisah? Dalam mimpipun tak pernah ia berharap mendengar kata-kata keluar dari mulut orang yang paling dicintainya itu.
Josh memasukkan beberapa barang terakhir ke dalam tasnya dengan cepat, lalu menutup resletingnya. Stan masih mematung di tempatnya.
“Aku...” Josh memulai.
“Jangan katakan apa-apa, dear.” Stan melangkah mendekati Josh sampai ia ada di hadapan kekasihnya itu. Ia mengusap kepala Josh dengan lembut, mengacak rambutnya, mencium dahinya.
“Stan, aku...”
“Sshhh.” Stan membungkuk, lalu memeluk Josh erat-erat. Sedapat-dapatnya ia menahan air matanya agar tidak tumpah. “Biarkan aku begini, dear, sebentar saja...”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Airmata Stan akhirnya bobol, membasahi punggung kekasihnya. Akhirnya ia mengangkat kepalanya, dipandanginya wajah kekasihnya yang ternyata juga basah oleh airmata.
Dibimbingnya Josh berdiri.
“Kurasa aku harus pergi, Stan.” Josh melangkah ke pintu.
“Tunggu,” cegah Stan. “Beri aku ciuman perpisahan,” katanya sambil tersenyum sedih.
Josh berbalik, diciumnya erat-erat bibir kekasihnya itu..
“I love you, Stan,” bisik Josh ketika ciuman itu berakhir. “I’m sorry, so sorry...” Ia pun menghilang di balik pintu.
Saat itulah bendungan air mata Stan jebol sepenuhnya. Air matanya mengalir deras. Ia mengambil beberapa lembar kertas di kantongnya, diamatinya sejenak, lalu dibiarkannya kertas-kertas itu jatuh berserakan di lantai tanpa suara. Sebuah partitur baru jadi yang tadinya akan ditunjukkan kepada Josh. Partitur itu berjudul
Because I Love You
Stan
Ia adalah seorang vokalis sekaligus pemain bas di band Axion. Boysband lokal yang sedang naik daun di negaranya. Sebagai boysband yang sedang naik daun, tak mungkin ia tak bertemu dengan Josh yang bekerja di salah satu majalah remaja paling terkenal di negara itu.
Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Stan bertandang ke kantor majalah itu untuk pemotretan. Kebetulan sekali fotografer yang biasa memotret tidak masuk. Terpaksa Josh yang mengambil alih tugas itu.
Bagi Stan, bekerja dengan Josh sungguh menyenangkan. Ia pandai mengambil hati orang. Ia membuat semua anggota band merasa santai dan mengeluarkan gaya-gaya tergila mereka, termasuk Stan.
Benih cinta pun tersemai...
Josh
Bagi Josh, pertemuan pertamanya dengan Stan adalalah titik balik dalam hidupnya. Ia adalah pria tertampan yang pernah dilihatnya. Tanpa sadar ia menahan nafas ketika Stan masuk ke kantor itu untuk pertama kalinya. Ia seperti melihat Ksatria, pangeran, dan malaikat sekaligus.
Suatu keuntungan baginya fotografer yang biasa memotret public figure tidak masuk, jadilah ia menggantikan fotografer itu memotret boysband itu.
Stan sungguh tampan. Wajahnya mirip sekali dengan Keanu Reeves, membuat hatinya tergetar setiap kali Stan tersenyum kepadanya. Tapi yang paling disukainya dari wajah Stan adalah bekas cukurannya yang membentuk siluet hijau di dagu, pipi, dan bagian atas bibirnya. Bekas cukuran yang tumbuh tidak beraturan itu menunjukkan Stan tidak bercukur setidaknya dua hari.
Di akhir sesi pemotertan, ia memberikan kartu namanya kepada Stan.
“Aku akan menghubungimu secepatnya begitu foto-foto ini selesai,” katanya sambil menatap Stan dalam-dalam.
Stan tersenyum. “Aku akan menghubungimu secepatnya begitu aku sampai di rumah.”
Apa?
Masa-masa kebahagiaan dan kehancuran
Singkat cerita, Stan dan Josh akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka berbagi apartemen yang mereka sewa bersama dan hidup layaknya pasangan suami istri sejati. Mereka berlibur bersama di kepulauan Karibia naik kapal pesiar, berbelanja bersama....begitu indah...
Namun tak seperti Cinderella yang lantas berbahagia selamanya bersama Sang pangeran atau Sleeping beauty yang akhirnya memiliki kebahagiaan abadi, kebahagiaan Stan dan Josh mulai memudar.
Penyebabnya adalah pekerjaan Stan.
“Tak bisakah kau lebih sering menginap di sini daripada di studiomu itu?” keluh Josh suatu ketika.
“Dear.” Stan mencium bibir Josh kuat-kuat. “Aku sedang menyiapkan album terbaruku. Aku harus bekerja keras.”
“Tapi untuk apa?” bantah Josh. “Kau sudah memiliki segalanya. Uang, ketenaran, dan lain sebagainya. Untuk apa bekerja terlalu keras?”
“Sayang, kita kan harus profesional,” kata Stan beralasan.
“Mereka juga harus profesional dong.” Josh berkeras. Ia membalikkan badan membelakangi Stan. “Tak bisa membiarkan orang menginap berhari-hari di studio seperti ini, memangnya kau siapa?”
Stan tertawa mendengar omelan Josh. “Sudahlah dear.” Ia merangkul tubuh Josh dari belakang lalu menciumi belakang leher Josh penuh gairah. Lidahnya menyapu bagian-bagian sensitif disana, membuat Josh kegelian, lalu naik ke telinga Josh.
“Stan...” rintih Josh. “Apa yang sedang kaulakukan?”
“Menikmatimu,” sahut Stan tak jelas karena bibirnya sedang sibuk menggigiti daun telinga Josh. Dijilatnya lubang telinga Josh. Josh merinding. “I love you, babe.” Stan berbisik di telinga kekasihnya itu.
Malam itu pun menjadi milik mereka.
*
Sayangnya itu bukan pertengkaran terakhir, juga bukan pertengkaran terhebat. Semakin lama, Josh merasa Stan semakin jauh darinya. Apalagi perlahan-lahan bintang Stan sebagai boysband semakin cemerlang.
“Kau mau kemana Stan?” tanya Josh suatu pagi, ketika Stan bersiap-siap pergi.
“Studio seperti biasa,” jawab Stan pendek.
“Tapi hari ini kan seharusnya kau bebas?” tanya Josh lagi. “Kita kan mau berenang hari ini? Kau lupa?”
“Ada urusan yang tidak bisa ditunda, dear.” Stan mengunyah roti beroles mentega yang dibuatnya sendiri.
Josh terdiam.
“I’m so sorry, dear, aku janji lain kali kita akan berenang, ok?” Stan menggenggam tangan Josh.
“Kau selalu saja berjanji.” Josh menepis tangan Stan. “Tapi tak satu pun yang menjadi kenyataan, Stan. Aku jadi ragu apakah kau masih cinta padaku.”
Stan tersentak. “I love you, mi amor. Jangan berkata seperti itu.”
“Tapi kenyataannya demikian, Stan, kau selalu meninggalkanku sendirian. Dalam seminggu hanya dua atau tiga hari saja kau di rumah, sisanya entah dimana. Belum lagi jika kau harus tour di beberapa kota sekaligus...Aku merasa kesepian tanpa dirimu, Stan.”
Stan menghampiri Josh dan memeluknya erat-erat.
“Aku kesepian, Stan....” Air mata mulai meleleh di pipi Josh.
“I’m so sorry dear, so sorry...” Stan mengusap air mata Josh perlahan. “Bukan kau saja yang merasa seperti itu, dear, aku juga.”
“Benarkah?” Alis Josh terangkat. Stan mengangguk.
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian.” Stan mengangkat tubuh Josh dan membawanya ke kamar. “Kau membuatku bergairah, Josh. Kita jadikan hari ini milik kita ya?”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
“Itu bisa menunggu.” Stan merebahkan tubuh Josh di ranjang. Ia sendiri mulai melepas pakaiannya satu-satu.
“Oh baby, you are so sweet.” Josh meraba dada kekar Stan dan menariknya mendekat. Tangan Stan tak tinggal diam, ikut melepasi pakaian Josh satu per satu. Akhirnya semua pakaian Josh terlepas. Josh tertawa.
“Apa yang kau tertawakan setan kecil?” Stan menyerangnya. Ia menggesek-gesekan bekas cukurannya ke dada dan leher Josh.
“Stop Stan, geli,” teriak Josh kegelian. Ia tertawa terbahak-bahak. “Stan Stoooop. Ahh, don’t stop,” pintanya ketika Stan mulai menciumi dadanya, terus ke bawah, ke bagian paling pribadinya. “Stan...what are youu doing?” rintihnya ketika lidah Stan menari-nari di alat cintanya.
Lima belas menit kemudian Josh merasa seluruh tubuhnya bergetar kuat. Ia menjambak rambut Stan erat-erat sambil meneriakkan namanya. Stan mengangkat wajahnya dengan puas, lalu menciumnya habis-habisan. Mereka bergulingan lagi di ranjang....
*
“Dear, aku minta ijin menginap di studio lagi.”
“Lagi?” tanya Josh kesal. “Ini sudah yang kelima kalinya dalam seminggu, Stan.”
“Ayolah dear, lagu baruku tak bisa menunggu.”
“Apa kaupikir aku bisa?”
Stan tertawa. “Sweetie, please jangan ngambek gitu dong. Kau jadi jelek kalau lagi ngambek.”
“Stan, mengapa tidak kautinggalkan saja aku selamanya?”
Tawa Stan terhenti. “Josh? Kau marah?”
“Kalau aku tidak marah, aku bukan manusia.” Josh menepis tangan Stan yang ingin memeluknya. “Kau bekerja terlalu keras, Stan, bagaimana kalau kau sakit? Aku marah karena kau tidak menhiraukan diriku, tapi aku lebih marah karena kau tidak menghiraukan dirimu sendiri.”
“Sorry Josh, aku tak tahu kau begitu memperhatikanku.”
“Stan, I love you so much. Mana mungkin aku tidak memperhatikanmu?”
“Oke, dear, ini yang terakhir, setelah lagu ini selesai, aku berjanji tidak akan pernah menginap lagi di studio.”
“Benarkah?” tanya Josh seperti pada dirinya sendiri. Stan mengangguk.
“Ok dear, aku harus pergi sekarang,” pamit Stan.
“Jangan lupa meneleponku, Stan,” teriak Josh sebelum Stan keluar apartemen.
“Pasti.” Stan balas berteriak.
*
Janji tinggal janji. Telepon yang ditunggu-tunggu Josh tak kunjung datang, padahal sudah empat hari Stan menginap di studio. Sebenarnya ia ingin menengok Stan ke studio, namun ia takut dianggap penganggu. Ia memutuskan untuk menunggu lebih lama.
Hari-hari pun berlalu. Semakin lama Josh semakin tak tahan dengan keadaan seperti ini. Sudah hampir dua minggu Stan meninggalkannya tanpa memberinya kabar sama sekali.
Apa ia sudah tak mencintaiku lagi dan ini salah satu cara untuk menghindariku? Tanya Josh dalam hati.
Genap hari keempatbelas ia memutuskan untuk menelepon telepon genggam Stan. Tidak ada yang mengangkat. Ia menelepon studio, juga tidak ada yang mengangkat. Di tengah kegalauan hatinya ia memutuskan.
Ia akan meninggalkan Stan, tidak peduli apapun resikonya.
CHAPTER 2
Stan
Ia tak pernah menyangka kehilangan seseorang yang sangat dicintainya berarti kehilangan separuh kehidupannya. Memang Ia masih bisa menjalani hidup, mengerjakan segala sesuatunya seperti biasa, namun ia tidak merasa benar-benar melakukannya, semuanya seolah-olah hanya berlangsung dalam alam bawah sadarnya.
Hari-harinya pun berlangsung begitu panjang baginya, apalagi malam-malamnya. Malam yang biasanya diisi canda, tawa, dan lagu, kini sirna, digantikan kesenyapan, diiringi orkestra nyamuk, tokek, cicak, dan serangga malam lain yang ia sendiri tidak tahu namanya.
Josh...
Sedang apa ia sekarang? Apakah ia memikirkanku seperti aku memikirkan dirinya? Apakah ia merindukanku seperti diriku yang hampir gila karena merindukannya? Seribu tanya bergayut tak terjawab di benaknya hingga ufuk timur memerah...
Josh
Ia memainkan seprainya dengan gelisah, kemudian tanpa sadar ia meraih ke belakang, mencari-cari tangan kekar Stan. Namun tangannya hanya menyentuh udara kosong. Spontan ia berbalik dan mendapati tidak ada orang yang tidur di ranjang itu kecuali dirinya. Sial, rutuknya. Ini sudah yang kesebelas kalinya dalam malam ini aku lupa bahwa aku tidur sendirian. Tidak ada lagi kata-kata mesra sebelum tidur, tidak ada lagi kecupan ringan di dahi, ataupun pelukan kekar yang menghangatkan malam-malamnya.
Frustasi, Josh bangkit dari ranjangnya dan menuju dapur. Ditenggaknya segelas air putih untuk menenangkan diri, tapi usahanya sia-sia. Akhirnya ia duduk sendirian di dapur, menatap keluar jendela, sementara pikirannya membumbung tinggi, menyatu dengan pikiran Stan.
Stan
“Ada apa dengamu beberapa hari ini?” bentak Juan, pemimpin band Axion sekaligus pemain keyboard di band ini. “Sudah dua hari kamu tak bermain dengan maksimal. Kami bisa memaklumi, karena kami pikir kau lagi capek. Tapi ini sudah memasuki hari ketiga, Stan. Ada apa?”
Stan menggeleng. “Ayo kita mulai dari awal.”
“Tidak bisa,” tolak Juan tegas. “Kita tidak bisa latihan dengan kondisimu yang seperti ini.
“Kita harus latihan, Juan.” Stan mulai memetik basnya, namun baru memasuki nada ketiga ia sudah salah.
“Sudahlah, Stan.” Juan merebut bas dari tangan Stan. “Kita sudahi saja latihan untuk hari ini.”
Stan tak bereaksi apa-apa. Hanya terpekur memandangi ujung sepatunya.
“Stan?” Carlos, sahabat sekaligus drummer di band mereka angkat bicara. “Ada apa sebenarnya?” Ia duduk di sebelah Stan dan merangkul tubuhnya.
“Josh...” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari bibirnya. “Ia meninggalkanku...”
Josh
“Kau tidak apa-apa, Josh?” tanya Melina, teman sekantornya. “Sejak tadi kau tidak menyentuh makan siangmu sedikitpun. Kau hanya memain=-mainkannya saja.”
Trang! Sendok dan garpu Josh beradu. “Tidak!” Seperti sudah diprogram, senyum manisnya langsung terulas, melunturkan prasangka. “Tidak apa-apa kok, aku Cuma lagi malas makan.”
Melina menghela nafas. “Josh, sudah tiga hari kau malas makan, dan kecuali kau sedang mengikuti program diet yang aku tahu tidak mungkin, itu tidak wajar.”
Josh tertawa mendengar celoteh panjang lebar Melina. Ia memijit hidung sahabatnya itu. “Thanks atas perhatianmu, tapi aku benar-benar tidak apa-apa kok.” Ia menyendokkan sesendok makanan ke mulutnya. “Nah, aku makan kan?”
“Josh...” panggil Melina.
“Ya?”
“Ceritalah kalau kau sudah siap ya?”
Akankah aku pernah bisa siap untuk meninggalkan Stan?
Stan
“Stan, aku tahu tidak mudah bagimu kehilangan Josh.” Juan merangkul pundak Stan. Saat itu mereka sedang berdua saja di studio, tanpa Carlos, kekasih Juan. “Tapi konser kita tinggal beberapa minggu lagi.”
“Aku tahu itu, Juan.” Stan menatap Juan tak berdaya. “Maafkan aku. Aku sendiri pun tak berdaya menghadapi ini. Setiap saat hanya dirinya yang ada di pikiranku, bahkan di seluruh kehidupanku.”
“Kau harus bangkit, Stan.” Juan menepuk bahu Stan dan bangkit berdiri. Ia berjalan meninggalkan ruangan. “The show must go on.”
Josh
Ia menggigit buah pearnya perlahan sementara hawa dingin subuh menusuk-nusuk kulitnya. Seperti biasa ia tidak bisa tidur sampai memilih menyelesaikan tugas-tugas kantornya yang sebenarnya belum saatnya ia kerjakan.
Tiba-tiba handphonenya berdering. Sebuah sms masuk.
Hi, dear. Mungkin kamu udah tidur sekarang. I miss u, babe. Can’t sleep without you...I love you...take care urself...
SMS keempat yang masuk hari ini, SMS keempat pula yang tidak dihiraukannya. Ada rasa manis sekaligus luka merasuk ke dalam hatinya.
Can’t sleep without you? Me too, my dear...
Stan
Dipandanginya telepon itu untuk yang kesekian ratus kali. Rindunya sudah mencapai puncak. Ia hampir gila. Ia ingin sekali menelepon Josh, hanya untuk mendengar suaranya, tapi ia takut akan reaksi Josh.
Bagaimana kalau ia tidak mau mengangkat teleponku? Pikir Stan. SMS-SMS ku pun tidak dibalas, apalagi teleponku. Atau dengan suara ketus memaki-makiku? Bagaimana jika ia menganggapku sebagai penganggu yang tidak tahu malu?
Akhirnya ia memberanikan diri mengangkat gagang telepon. Diputarnya nomor telepon genggam Josh.
Josh
Telepon genggam itu berdering. Dari nada teleponnya ia tahu itu dari Stan.
Tiba-tiba jantungnya seperti tidak bisa dikendalikan lagi. Kebimbangan menyergapnya. Haruskah aku mengangkatnya? Atau tidak? Pikirnya. Mendengar suaramu hanya akan membuat hatiku semakin sakit, but I miss you, too, Stan.
Pelan-pelan ditekannya tombol answer.
“Halo?”
Stan
“Halo. Josh?”
“Ada apa?” Suara Josh terdengar datar di ujung sana.”
“Apa kabar?” Mati-matian ia berusaha agar suaranya terdengar tenang, atpi itu tak mudah karena ia juga harus berperang melawan lonjakan jantungnya yang menggila.
“Baik. Kamu sendiri?”
“Bad.” Ia tidak tahan untuk tidak berkata jujur. “I miss u, babe.”
Josh
“I miss u, babe.”
Kata-katanya tetap mampu menggetarkan hatiku, bisik Josh dalam hati. Aduh, apa yang sedang kupikirkan? Rutuknya dalam hati.
“Josh, adakah yang bisa kulakukan untuk membuatmu kembali?”
Adakah yang dapat kulakukan untuk membuatmu menerimaku kembali?
“Josh, I still love you, gimme a chance.”
Me either, Stan. Still love you too, babe.
“Josh. I really can’t live without you. I’m sorry. Can we start it again? I need you, Josh.”
You are my soul, how can a man live without a soul?
“Josh, please say something.”
Ah!
“Sudahlah, Stan. Jangan dibahas lagi.” Hati Josh seperti teriris ketika mengatakannya. “Hanya akan mengungkit cerita lama dan membuat kita semakin terluka.”
“Josh...what can I do to bring you back to me? Tell me, Josh.”
Love.
“Nothing.” Ia berusaha agar suaranya terdengar dingin. “Kau harus belajar terima kenyataan, Stan. Sudah ngga ada apa-apa lagi diantara kita, Stan.”
Terdengar desah kecewa di ujung sana.
I’m sorry, Stan.I’m sorry...
“Kita masih berteman, kan?” tanya Stan lemah.
“Tentu saja.”
“Bolehkan aku menghubungimu sewaktu-waktu?”
“Stan, jika kau menghubungiku hanya untuk kembali, jangan buang-buang waktumu, Stan. Kau masih punya banyak hal yang lebih penting. Pekerjaan, orangtua, semuanya...”
“Semuanya itu tidak berarti bila diandingkan denganmu, Josh,” bantah Stan. “You’re the best part in my life.”
“Sudahlah, Stan. Lupakan aku.”
“Mana mungkin aku melupakanmu? I love you, Josh. Love you, love you...”
“Stan sudahlah. Berhenti merayuku. Berhenti mengejarku. Aku...aku tak bisa kembali padamu karena aku sudah punya cowok baru.”
Apa yang telah kukatakan?
Hening beberapa saat sebelum hubungan terputus.
Stan
“Cowok baru? Cowok baru katanya?” Stan tertawa dalam kegelapan kamarnya. Ia tertawa terbahak-bahak bagaikan gila. “Cowok baru? Kau memang pintar menggaet cowok, Josh.” Ia tertawa lagi, sumbang.
Stan berjalan menuju kulkas, diambilnya sebotol Carlsberg dari sana. Ia membuka botolnya dan menenggaknya langsung dari sana. Tidak puas dengan satu botol, ia membuka lagi botol-botol lain sampai persediaan birnya habis. Namun itu tak bisa menghapus perih yang terasa di dadanya.
Akhirnya ia pun jatuh tertidur di lantai kamarnya.
Josh
Cowok baru?
Josh tertawa sumbang dalam hati. Dalam pikirannya yang paling jelek sekalipun, tak pernah ada cowok baru disana. Stan masih menjadi ksatria, pangeran, pahlawan dan malaikatnya.
Stan kekasih yang sempurna, sangat tampan, jantan, dan baik hati. Ia juga romantis, dan kaya. Apalagi yang ia inginkan?
Jawabannya langsung muncul dari pikirannya. Ia butuh perhatian lebih.
Sebelum jadi kekasihnya, Stan berjanji akan memperhatikannya melebihi apapun yang ada di dunia ini. Awal-awalnya Stan memang membuatnya serasa melayang di langit ketujuh. Tapi setelah masa-masa kemesraan berlalu, Stan berubah. Ia lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan dengan dirinya. Ia sering tidak pulang ke apartemen yang mereka sewa berdua dan menginap di studio. Ia sudah mencoba bersabar atas kelakuan Stan, tapi berapa lama ia bisa bertahan? Ia adalah orang yang sangat butuh perhatian dalam hidupnya, ia tidak pernah mendapatkan itu dari orangtuanya, karena ia yatim piatu sejak kecil. Lalu jika bukan dari Stan, dari siapa lagi ia akan dapat perhatian lebih?
Semuanya telah berlalu, pikirnya letih. Ia melepaskan semua pakaiannya dan menyusup ke balik selimutnya yang nyaman. Keletihan segera mengambil alih segalanya dan membawanya ke alam mimpi.
Stan
“Aku senang melihatmu kembali bersemangat, Stan,” kata Carlos di akhir lagu keempat yang dilatih mereka pagi itu. “Kelihatan sekali kau belum pulih seluruhnya, tapi paling tidak permainanmu sudah kembali seperti semula.”
“Kalian benar.” Stan menyetel bass-nya ke posisi yang cocok untuk lagu kelima. “The show must go on. Tidak boleh lagi ada masalah cinta dalam pekerjaan.”
“Siap untuk lagu kelima?” teriak Juan dari belakang keyboardnya.
Stan mengacungkan jempolnya. Tidak ada seorangpun yang melihat mata Stan yang hampa...
Josh
“Aku tidak peduli.” Josh mengaduk-aduk es jeruk di hadapannya dengan gelisah. Duduk di hadapannya adalah Juan. “Bagaimana keadaan Stan, itu urusannya, bukan urusanku.”
“Mengapa kau begitu keras kepala?” Juan mulai kesal dengan sikap dingin Josh. “Jelas-jelas cinta itu masih terpancar dari matamu. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kau tidak peduli lagi padanya?”
“Siapa bilang?” Josh langsung membantah. “Pancaran cinta apa? Kau mengada-ada.”
Tak menghiraukan bantahan Josh, Juan melontarkan pertanyaan. “Karena apa sih kau meninggalkannya?”
“Itu bukan urusanmu,” kata Josh ketus.
Juan tertawa. “Sesuai dugaanku kau pasti akan berkata begitu. Kalau begitu, pertanyaan terakhir. Apakah kau sudah tidak cinta padanya?”
Josh terdiam. Sinar matanya meredup. Pelan-pelan ia mengangguk.
“Aku masih mencintainya”
“Dan tentang cowok baru itu, itu hanya ciptaanmu kan?”
Lagi-lagi Josh mengangguk.
“Mengapa kau meninggalkannya?” Juan mengulangi pertanyaannya yang sempat terlontar, kali ini lebih lembut.
“Aku tidak tahan dengan kehidupan kami. Ia begitu tidak peduli padaku, band seolah telah membuatnya menjadi orang yang tidak kumengerti, tidak kukenal. Aku tidak menyalahkanmu atau band Axion, tapi aku tidak tahan lagi. Kalau hubungan ini diteruskan, kita berdua akan hancur.”
Ia menceritakan segalanya kepada Juan, entah kenapa.
“Maukah kau datang di konser kami untuk yang terakhir?”
“Buat apa?”
“Dengarlah perasaannya untuk yang terakhir kalinya.” Juan menyelipkan selembar tiket ke tangan Josh. “Ini tiketnya.”
“Baiklah.”
The Concert
Hingar bingar musik menyentak telinganya begitu ia menginjakkan kakinya di gedung pertunjukan itu. Josh tak habis pikir mengapa ia menyanggupi ajakan Juan datang ke sini.
Dilangkahkannya kakinya diam-diam ke sudut ruangan yang gelap. Dulu waktu ia masih menjadi kekasih Stan, ia selalu berdiri di barisan paling depan walaupun ia tidak suka musik-musik aliran slow rock seperti yang biasa dinyanyikan band Axion ini.
Setelah menunggu beberapa lama Stan akhirnya muncul. Ia keluar bersama Juan, Carlos, Santos, dan seorang lagi yang tidak dikenal Josh.
Stan tidak berubah. Ia terlihat sedikit kurus tapi tetap sangat tampan. Mau tak mau dawai di hati Josh bergetar lagi. Stan terlihat begitu hidup. Suara nyanyiannya mengisi gendang telinga Josh penuh-penuh.
Lagu demi lagu pun berlalu. Kenangan mulai berlarian di benak Josh. Perih di hatinya mulai terasa mengingat Stan bukan lagi miliknya. Mungkin bahkan Stan kini membencinya. Perlahan ia melangkahkan kakinya ke pintu keluar.
“Lagu ini baru saja kuciptakan.” Langkah Josh terhenti. Lagu baru? Stan memang pernah bilang kalau ia mau menciptakan lagu baru. Rasa ingin tahunya membuatnya mengurungkan niatnya untuk pulang. “Untuk mantan kekasihku yang sampai sekarangpun masih tetap kucintai.”
Stan mulai memetik gitarnya. Kali ini ia menggunakan gitar akustik.
You've made up your mind
It was time
It was over
After we had come so far
But I think there's enough pieces of forgiveness
Somewhere in my broken heart
I would not have chosen the road you have taken
It has left us miles apart
Well I think I can still find a will to keep going
Somewhere in my broken heart
So Fly
Go ahead and fly
Until you find out who you are
'Cause I
Will keep my love unspoken
Somewhere in my broken heart
I hope that in time
You will find what you longed for
Love that's written in the stars
And when you finally do
I think you'll see it
Somewhere in my broken heart
Jadi ia benar-benar sudah menerima kenyataan? Josh bertanya-tanya dalam hatinya. Tiba-tiba hatinya terasa sangat hampa. Sesuatu seperti menyumbat tenggorokannya. Bahkan lagu ini pun sampai tercipta.
Josh tak tahan lagi. Dengan langkah cepat ia meninggalkan gedung pertunjukan itu. Di belakangnya didengarnya hiruk pikuk sorakan bergema tak henti-hentinya.
Goodbye Stan.
Because I Love You
Hujan turun rintik-rintik saat ia menyusuri jalan raya pelan-pelan menuju apartemen yang disewanya. Apartemen itu dekat dengan gedung pertunjukan itu, jadi tadi Josh memutuskan untuk berjalan kaki saja dari apartemennya.
Bait terakhir lagu yang dinyanyikan Stan masih terngiang di telinganya
I Hope that In time
You’ll find what you longed for
Love that’s written in the star...
Air mata turun dari pelupuk mata Josh. Ia baru sadar sekarang, Stan-lah Love that’s written in the star-nya. Stan cinta sejatinya. Ia mencintainya sepenuh hati. Tapi semuanya telah terlambat. Ia memaksakan seulas senyum di bibirnya. Hujan turun semakin deras, seolah ikut menangis dengannya.
Setelah beberapa lama berjalan, pagar apartemennya terlihat juga. Ia membukanya lalu masuk. Ketika ia hendak membuka pintu apartemennya, ia mendengar suara mencurigakan. Instingnya langsung bekerja. Pencurikah? Atau penodong? Perampok?
Tiba-tiba dari balik semak-semak terdengar suara nyanyian. Josh tertegun.
If I got down on my knees and I'm here with you
If I cross the million oceans just to be with you
Would you ever let me down
Stan perlahan-lahan keluar dari semak-semak sambil tetap menyanyi. Ia berjalan menghampiri Josh yang hanya bisa mematung di tengah hujan.
“Stan?” Nyaris tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Wajahnya basah, entah oleh air mata atau air hujan.
If I climb the highest mountain
Just to hold you tight
If I said that I would love you every single night
Would you ever let me down
Well, I'm sorry if it sounds a kind of sad
Just there, I'm worry
So worry that you let me down
Because I love you, love you, love you
So don't you let me down.
If I swam along this river just to call your name
If I said the way I feel for you will never change
Would you ever fool around
I'm so worry that you let me down
, love you
I'm so worry that you let me down
, love you, love you,
Love you, love you
“Stan? Benarkah ini kamu?”
Stan mengangguk. “Aku...”
“Jangan katakan apa-apa lagi, Stan.” Josh meletakkan jarinya di bibir Stan. Sedetik kemudian ia menggantikan jari itu dengan bibirnya. Ia mencium Stan dalam-dalam.
Tangan Josh gemetar meraba-raba ke dalam saku. Di mana sih kunci sialan itu...
"Tenang, babe, kita punya banyak waktu..." bisik Stan di telinga Josh seraya mendaratkan bibirnya di tengkuknya.
Ini dia kuncinya, masukkan... buka pintu... masuk... tutup pintu. Ahh, akhirnya beres juga. Josh bernafas lega. Sejurus kemudian ia dan Stan sudah berada dalam kamarnya.
Hanya sedetik mereka berpandangan. Sekonyong-konyong Stan mendorong Joshh ke dinding. Dalam sekejap, lidahnya telah bermain-main dalam rongga mulutnya, menjelajahi setiap sudut. Tangannya meremas-remas pinggul Josh mesra sementara Josh berjuang membuka kancing kemejanya satu demi satu, dengan tidak sabar. Stan tertawa kecil, namun bibir mereka tetap tak terpisahkan, lidah bertemu dan saling melumat seperti sepasang kekasih yang didera rindu... seperti mereka...
Kancing terakhir, dibiarkannya kemeja denim basah itu terjatuh. Tangan Josh menelusuri dada Stan yang bidang, otot-otot perutnya yang menonjol, dan turun ke bawah, membuka jeansnya...lalu celana dalamnya....
Stan mengunci kedua tangan Josh di dinding, membuatnya tak berdaya.
"Nikmat sekali, Josh..." bisiknya sambil menggigit-gigit leher Josh, menjilat dan memanjakan daerah sensitifnya.
"Ohh, Stan..." Josh mengerang. Darahnya kembali bergolak.
Stan tak sabar, disingkirkannya barang-barang di lantai. Sambil menyangga kepala Josh dengan tangannya, didorongnya tubuh Josh ke lantai kamarnya yang berkarpet. Mereka pun bergumul penuh nafsu di atas karpet. Dengan sebelah tangan Stan merobek kemeja Josh yang basah dan membuangnya jauh-jauh, disusul jeansnya dan celana dalamnya.
Diangkatnya satu kaki Josh ke atas bahunya, wajahnya kini berada diantara kedua paha Josh. Lidahnya bergerak lincah di daerah segitiga sensitif Josh, memberikan sensasi yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
“Eghh...don’t stop Stan...” erang Josh. Sejurus kemudian tubuh Josh serasa melayang. Tapi ia tidak ingin melayang seorang diri.
“Stan...I...wanna feel you...inside me...ooohh...” Kenikmatan yang luar biasa membuat kalimat Josh terputus-putus.
Stan mengintip dari balik kaki Josh sambil tersenyum. “Are you sure?”
Josh mengangguk.
Suara hujan di luar semakin deras. Memukul-mukul jendela dengan dahsyatnya, bercampur dengan suara-suara guntur, seolah-olah berlomba dengan erangan-erangan Josh dan Stan.
“Stan...aku ngga kuat lagi...” rintih Josh. Ia merasakan tusukan Stan semakin kuat, semakin dalam sementara tangan Stan begitu lihai menari di tubuhnya.
Josh merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Saatnya telah tiba. Di saat yang sama, ia merasakan tubuh Stan juga bergetar dengan hebat. Ia merasakan Stan berdenyut-denyut di dalamnya.
“Eegh...Stan...aku sampai...oohhh....”
“Josh...oh...Josh...” Stan memeluk Josh erat-erat dan menempelkan bibirnya ke bibir Josh. Josh belum pernah berciuman di saat klimaks. Mmmhh, waktu terasa begitu lambat. Terengah-engah Stan menjatuhkan kepalanya ke dadaku.
“I love you, Stanley.”
Stan menatap Josh dengan lembut sebelum berbisik pelan di telinganya.
“I love you too, Josephine.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar