Sabtu, 18 Desember 2010

JOSH....

Stan yang baru pulang dari studio menatap kamarnya yang terbuka dengan mata terbelalak. Senyum lebar yang sedianya terlukis di bibirnya lenyap digantikan raut keheranan dan keterkejutan. Kamar itu, yang biasanya rapi, kini berantakan. Sebuah koper besar tergeletak di atas ranjang. Josh, kekasihnya duduk di samping koper itu, sibuk mengemasi barang-barangnya.
“Josh?” panggil Stan heran. Rasa terkejut masih belum sirna dari wajahnya. “Kenapa kaubereskan barang-barangmu?”
Josh mengangkat wajahnya, rasa bersalah terpancar jelas dari kedua bola matanya. “Aku...”
“Kau mau pergi kemana?” berondong Stan. Kegalauan tiba-tiba menyergap hatinya.
Stan diam beberapa saat. “Sori, Stan...” Akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari bibir indahnya. “Sori...tapi aku sudah memutuskan, kita lebih baik berpisah saja.”
Stan mematung di tempatnya mendengar jawaban Josh. Berpisah? Dalam mimpipun tak pernah ia berharap mendengar kata-kata keluar dari mulut orang yang paling dicintainya itu.
Josh memasukkan beberapa barang terakhir ke dalam tasnya dengan cepat, lalu menutup resletingnya. Stan masih mematung di tempatnya.
“Aku...” Josh memulai.
“Jangan katakan apa-apa, dear.” Stan melangkah mendekati Josh sampai ia ada di hadapan kekasihnya itu. Ia mengusap kepala Josh dengan lembut, mengacak rambutnya, mencium dahinya.
“Stan, aku...”
“Sshhh.” Stan membungkuk, lalu memeluk Josh erat-erat. Sedapat-dapatnya ia menahan air matanya agar tidak tumpah. “Biarkan aku begini, dear, sebentar saja...”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Airmata Stan akhirnya bobol, membasahi punggung kekasihnya. Akhirnya ia mengangkat kepalanya, dipandanginya wajah kekasihnya yang ternyata juga basah oleh airmata.
Dibimbingnya Josh berdiri.
“Kurasa aku harus pergi, Stan.” Josh melangkah ke pintu.
“Tunggu,” cegah Stan. “Beri aku ciuman perpisahan,” katanya sambil tersenyum sedih.
Josh berbalik, diciumnya erat-erat bibir kekasihnya itu..
“I love you, Stan,” bisik Josh ketika ciuman itu berakhir. “I’m sorry, so sorry...” Ia pun menghilang di balik pintu.
Saat itulah bendungan air mata Stan jebol sepenuhnya. Air matanya mengalir deras. Ia mengambil beberapa lembar kertas di kantongnya, diamatinya sejenak, lalu dibiarkannya kertas-kertas itu jatuh berserakan di lantai tanpa suara. Sebuah partitur baru jadi yang tadinya akan ditunjukkan kepada Josh. Partitur itu berjudul
Because I Love You
Stan
Ia adalah seorang vokalis sekaligus pemain bas di band Axion. Boysband lokal yang sedang naik daun di negaranya. Sebagai boysband yang sedang naik daun, tak mungkin ia tak bertemu dengan Josh yang bekerja di salah satu majalah remaja paling terkenal di negara itu.
Pertemuan pertama mereka terjadi ketika Stan bertandang ke kantor majalah itu untuk pemotretan. Kebetulan sekali fotografer yang biasa memotret tidak masuk. Terpaksa Josh yang mengambil alih tugas itu.
Bagi Stan, bekerja dengan Josh sungguh menyenangkan. Ia pandai mengambil hati orang. Ia membuat semua anggota band merasa santai dan mengeluarkan gaya-gaya tergila mereka, termasuk Stan.
Benih cinta pun tersemai...
Josh
Bagi Josh, pertemuan pertamanya dengan Stan adalalah titik balik dalam hidupnya. Ia adalah pria tertampan yang pernah dilihatnya. Tanpa sadar ia menahan nafas ketika Stan masuk ke kantor itu untuk pertama kalinya. Ia seperti melihat Ksatria, pangeran, dan malaikat sekaligus.
Suatu keuntungan baginya fotografer yang biasa memotret public figure tidak masuk, jadilah ia menggantikan fotografer itu memotret boysband itu.
Stan sungguh tampan. Wajahnya mirip sekali dengan Keanu Reeves, membuat hatinya tergetar setiap kali Stan tersenyum kepadanya. Tapi yang paling disukainya dari wajah Stan adalah bekas cukurannya yang membentuk siluet hijau di dagu, pipi, dan bagian atas bibirnya. Bekas cukuran yang tumbuh tidak beraturan itu menunjukkan Stan tidak bercukur setidaknya dua hari.
Di akhir sesi pemotertan, ia memberikan kartu namanya kepada Stan.
“Aku akan menghubungimu secepatnya begitu foto-foto ini selesai,” katanya sambil menatap Stan dalam-dalam.
Stan tersenyum. “Aku akan menghubungimu secepatnya begitu aku sampai di rumah.”
Apa?
Masa-masa kebahagiaan dan kehancuran
Singkat cerita, Stan dan Josh akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Mereka berbagi apartemen yang mereka sewa bersama dan hidup layaknya pasangan suami istri sejati. Mereka berlibur bersama di kepulauan Karibia naik kapal pesiar, berbelanja bersama....begitu indah...
Namun tak seperti Cinderella yang lantas berbahagia selamanya bersama Sang pangeran atau Sleeping beauty yang akhirnya memiliki kebahagiaan abadi, kebahagiaan Stan dan Josh mulai memudar.
Penyebabnya adalah pekerjaan Stan.
“Tak bisakah kau lebih sering menginap di sini daripada di studiomu itu?” keluh Josh suatu ketika.
“Dear.” Stan mencium bibir Josh kuat-kuat. “Aku sedang menyiapkan album terbaruku. Aku harus bekerja keras.”
“Tapi untuk apa?” bantah Josh. “Kau sudah memiliki segalanya. Uang, ketenaran, dan lain sebagainya. Untuk apa bekerja terlalu keras?”
“Sayang, kita kan harus profesional,” kata Stan beralasan.
“Mereka juga harus profesional dong.” Josh berkeras. Ia membalikkan badan membelakangi Stan. “Tak bisa membiarkan orang menginap berhari-hari di studio seperti ini, memangnya kau siapa?”
Stan tertawa mendengar omelan Josh. “Sudahlah dear.” Ia merangkul tubuh Josh dari belakang lalu menciumi belakang leher Josh penuh gairah. Lidahnya menyapu bagian-bagian sensitif disana, membuat Josh kegelian, lalu naik ke telinga Josh.
“Stan...” rintih Josh. “Apa yang sedang kaulakukan?”
“Menikmatimu,” sahut Stan tak jelas karena bibirnya sedang sibuk menggigiti daun telinga Josh. Dijilatnya lubang telinga Josh. Josh merinding. “I love you, babe.” Stan berbisik di telinga kekasihnya itu.
Malam itu pun menjadi milik mereka.
*
Sayangnya itu bukan pertengkaran terakhir, juga bukan pertengkaran terhebat. Semakin lama, Josh merasa Stan semakin jauh darinya. Apalagi perlahan-lahan bintang Stan sebagai boysband semakin cemerlang.
“Kau mau kemana Stan?” tanya Josh suatu pagi, ketika Stan bersiap-siap pergi.
“Studio seperti biasa,” jawab Stan pendek.
“Tapi hari ini kan seharusnya kau bebas?” tanya Josh lagi. “Kita kan mau berenang hari ini? Kau lupa?”
“Ada urusan yang tidak bisa ditunda, dear.” Stan mengunyah roti beroles mentega yang dibuatnya sendiri.
Josh terdiam.
“I’m so sorry, dear, aku janji lain kali kita akan berenang, ok?” Stan menggenggam tangan Josh.
“Kau selalu saja berjanji.” Josh menepis tangan Stan. “Tapi tak satu pun yang menjadi kenyataan, Stan. Aku jadi ragu apakah kau masih cinta padaku.”
Stan tersentak. “I love you, mi amor. Jangan berkata seperti itu.”
“Tapi kenyataannya demikian, Stan, kau selalu meninggalkanku sendirian. Dalam seminggu hanya dua atau tiga hari saja kau di rumah, sisanya entah dimana. Belum lagi jika kau harus tour di beberapa kota sekaligus...Aku merasa kesepian tanpa dirimu, Stan.”
Stan menghampiri Josh dan memeluknya erat-erat.
“Aku kesepian, Stan....” Air mata mulai meleleh di pipi Josh.
“I’m so sorry dear, so sorry...” Stan mengusap air mata Josh perlahan. “Bukan kau saja yang merasa seperti itu, dear, aku juga.”
“Benarkah?” Alis Josh terangkat. Stan mengangguk.
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian.” Stan mengangkat tubuh Josh dan membawanya ke kamar. “Kau membuatku bergairah, Josh. Kita jadikan hari ini milik kita ya?”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
“Itu bisa menunggu.” Stan merebahkan tubuh Josh di ranjang. Ia sendiri mulai melepas pakaiannya satu-satu.
“Oh baby, you are so sweet.” Josh meraba dada kekar Stan dan menariknya mendekat. Tangan Stan tak tinggal diam, ikut melepasi pakaian Josh satu per satu. Akhirnya semua pakaian Josh terlepas. Josh tertawa.
“Apa yang kau tertawakan setan kecil?” Stan menyerangnya. Ia menggesek-gesekan bekas cukurannya ke dada dan leher Josh.
“Stop Stan, geli,” teriak Josh kegelian. Ia tertawa terbahak-bahak. “Stan Stoooop. Ahh, don’t stop,” pintanya ketika Stan mulai menciumi dadanya, terus ke bawah, ke bagian paling pribadinya. “Stan...what are youu doing?” rintihnya ketika lidah Stan menari-nari di alat cintanya.
Lima belas menit kemudian Josh merasa seluruh tubuhnya bergetar kuat. Ia menjambak rambut Stan erat-erat sambil meneriakkan namanya. Stan mengangkat wajahnya dengan puas, lalu menciumnya habis-habisan. Mereka bergulingan lagi di ranjang....
*
“Dear, aku minta ijin menginap di studio lagi.”
“Lagi?” tanya Josh kesal. “Ini sudah yang kelima kalinya dalam seminggu, Stan.”
“Ayolah dear, lagu baruku tak bisa menunggu.”
“Apa kaupikir aku bisa?”
Stan tertawa. “Sweetie, please jangan ngambek gitu dong. Kau jadi jelek kalau lagi ngambek.”
“Stan, mengapa tidak kautinggalkan saja aku selamanya?”
Tawa Stan terhenti. “Josh? Kau marah?”
“Kalau aku tidak marah, aku bukan manusia.” Josh menepis tangan Stan yang ingin memeluknya. “Kau bekerja terlalu keras, Stan, bagaimana kalau kau sakit? Aku marah karena kau tidak menhiraukan diriku, tapi aku lebih marah karena kau tidak menghiraukan dirimu sendiri.”
“Sorry Josh, aku tak tahu kau begitu memperhatikanku.”
“Stan, I love you so much. Mana mungkin aku tidak memperhatikanmu?”
“Oke, dear, ini yang terakhir, setelah lagu ini selesai, aku berjanji tidak akan pernah menginap lagi di studio.”
“Benarkah?” tanya Josh seperti pada dirinya sendiri. Stan mengangguk.
“Ok dear, aku harus pergi sekarang,” pamit Stan.
“Jangan lupa meneleponku, Stan,” teriak Josh sebelum Stan keluar apartemen.
“Pasti.” Stan balas berteriak.
*
Janji tinggal janji. Telepon yang ditunggu-tunggu Josh tak kunjung datang, padahal sudah empat hari Stan menginap di studio. Sebenarnya ia ingin menengok Stan ke studio, namun ia takut dianggap penganggu. Ia memutuskan untuk menunggu lebih lama.
Hari-hari pun berlalu. Semakin lama Josh semakin tak tahan dengan keadaan seperti ini. Sudah hampir dua minggu Stan meninggalkannya tanpa memberinya kabar sama sekali.
Apa ia sudah tak mencintaiku lagi dan ini salah satu cara untuk menghindariku? Tanya Josh dalam hati.
Genap hari keempatbelas ia memutuskan untuk menelepon telepon genggam Stan. Tidak ada yang mengangkat. Ia menelepon studio, juga tidak ada yang mengangkat. Di tengah kegalauan hatinya ia memutuskan.
Ia akan meninggalkan Stan, tidak peduli apapun resikonya.
CHAPTER 2
Stan
Ia tak pernah menyangka kehilangan seseorang yang sangat dicintainya berarti kehilangan separuh kehidupannya. Memang Ia masih bisa menjalani hidup, mengerjakan segala sesuatunya seperti biasa, namun ia tidak merasa benar-benar melakukannya, semuanya seolah-olah hanya berlangsung dalam alam bawah sadarnya.
Hari-harinya pun berlangsung begitu panjang baginya, apalagi malam-malamnya. Malam yang biasanya diisi canda, tawa, dan lagu, kini sirna, digantikan kesenyapan, diiringi orkestra nyamuk, tokek, cicak, dan serangga malam lain yang ia sendiri tidak tahu namanya.
Josh...
Sedang apa ia sekarang? Apakah ia memikirkanku seperti aku memikirkan dirinya? Apakah ia merindukanku seperti diriku yang hampir gila karena merindukannya? Seribu tanya bergayut tak terjawab di benaknya hingga ufuk timur memerah...
Josh
Ia memainkan seprainya dengan gelisah, kemudian tanpa sadar ia meraih ke belakang, mencari-cari tangan kekar Stan. Namun tangannya hanya menyentuh udara kosong. Spontan ia berbalik dan mendapati tidak ada orang yang tidur di ranjang itu kecuali dirinya. Sial, rutuknya. Ini sudah yang kesebelas kalinya dalam malam ini aku lupa bahwa aku tidur sendirian. Tidak ada lagi kata-kata mesra sebelum tidur, tidak ada lagi kecupan ringan di dahi, ataupun pelukan kekar yang menghangatkan malam-malamnya.
Frustasi, Josh bangkit dari ranjangnya dan menuju dapur. Ditenggaknya segelas air putih untuk menenangkan diri, tapi usahanya sia-sia. Akhirnya ia duduk sendirian di dapur, menatap keluar jendela, sementara pikirannya membumbung tinggi, menyatu dengan pikiran Stan.
Stan
“Ada apa dengamu beberapa hari ini?” bentak Juan, pemimpin band Axion sekaligus pemain keyboard di band ini. “Sudah dua hari kamu tak bermain dengan maksimal. Kami bisa memaklumi, karena kami pikir kau lagi capek. Tapi ini sudah memasuki hari ketiga, Stan. Ada apa?”
Stan menggeleng. “Ayo kita mulai dari awal.”
“Tidak bisa,” tolak Juan tegas. “Kita tidak bisa latihan dengan kondisimu yang seperti ini.
“Kita harus latihan, Juan.” Stan mulai memetik basnya, namun baru memasuki nada ketiga ia sudah salah.
“Sudahlah, Stan.” Juan merebut bas dari tangan Stan. “Kita sudahi saja latihan untuk hari ini.”
Stan tak bereaksi apa-apa. Hanya terpekur memandangi ujung sepatunya.
“Stan?” Carlos, sahabat sekaligus drummer di band mereka angkat bicara. “Ada apa sebenarnya?” Ia duduk di sebelah Stan dan merangkul tubuhnya.
“Josh...” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari bibirnya. “Ia meninggalkanku...”
Josh
“Kau tidak apa-apa, Josh?” tanya Melina, teman sekantornya. “Sejak tadi kau tidak menyentuh makan siangmu sedikitpun. Kau hanya memain=-mainkannya saja.”
Trang! Sendok dan garpu Josh beradu. “Tidak!” Seperti sudah diprogram, senyum manisnya langsung terulas, melunturkan prasangka. “Tidak apa-apa kok, aku Cuma lagi malas makan.”
Melina menghela nafas. “Josh, sudah tiga hari kau malas makan, dan kecuali kau sedang mengikuti program diet yang aku tahu tidak mungkin, itu tidak wajar.”
Josh tertawa mendengar celoteh panjang lebar Melina. Ia memijit hidung sahabatnya itu. “Thanks atas perhatianmu, tapi aku benar-benar tidak apa-apa kok.” Ia menyendokkan sesendok makanan ke mulutnya. “Nah, aku makan kan?”
“Josh...” panggil Melina.
“Ya?”
“Ceritalah kalau kau sudah siap ya?”
Akankah aku pernah bisa siap untuk meninggalkan Stan?
Stan
“Stan, aku tahu tidak mudah bagimu kehilangan Josh.” Juan merangkul pundak Stan. Saat itu mereka sedang berdua saja di studio, tanpa Carlos, kekasih Juan. “Tapi konser kita tinggal beberapa minggu lagi.”
“Aku tahu itu, Juan.” Stan menatap Juan tak berdaya. “Maafkan aku. Aku sendiri pun tak berdaya menghadapi ini. Setiap saat hanya dirinya yang ada di pikiranku, bahkan di seluruh kehidupanku.”
“Kau harus bangkit, Stan.” Juan menepuk bahu Stan dan bangkit berdiri. Ia berjalan meninggalkan ruangan. “The show must go on.”
Josh
Ia menggigit buah pearnya perlahan sementara hawa dingin subuh menusuk-nusuk kulitnya. Seperti biasa ia tidak bisa tidur sampai memilih menyelesaikan tugas-tugas kantornya yang sebenarnya belum saatnya ia kerjakan.
Tiba-tiba handphonenya berdering. Sebuah sms masuk.
Hi, dear. Mungkin kamu udah tidur sekarang. I miss u, babe. Can’t sleep without you...I love you...take care urself...
SMS keempat yang masuk hari ini, SMS keempat pula yang tidak dihiraukannya. Ada rasa manis sekaligus luka merasuk ke dalam hatinya.
Can’t sleep without you? Me too, my dear...
Stan
Dipandanginya telepon itu untuk yang kesekian ratus kali. Rindunya sudah mencapai puncak. Ia hampir gila. Ia ingin sekali menelepon Josh, hanya untuk mendengar suaranya, tapi ia takut akan reaksi Josh.
Bagaimana kalau ia tidak mau mengangkat teleponku? Pikir Stan. SMS-SMS ku pun tidak dibalas, apalagi teleponku. Atau dengan suara ketus memaki-makiku? Bagaimana jika ia menganggapku sebagai penganggu yang tidak tahu malu?
Akhirnya ia memberanikan diri mengangkat gagang telepon. Diputarnya nomor telepon genggam Josh.
Josh
Telepon genggam itu berdering. Dari nada teleponnya ia tahu itu dari Stan.
Tiba-tiba jantungnya seperti tidak bisa dikendalikan lagi. Kebimbangan menyergapnya. Haruskah aku mengangkatnya? Atau tidak? Pikirnya. Mendengar suaramu hanya akan membuat hatiku semakin sakit, but I miss you, too, Stan.
Pelan-pelan ditekannya tombol answer.
“Halo?”
Stan
“Halo. Josh?”
“Ada apa?” Suara Josh terdengar datar di ujung sana.”
“Apa kabar?” Mati-matian ia berusaha agar suaranya terdengar tenang, atpi itu tak mudah karena ia juga harus berperang melawan lonjakan jantungnya yang menggila.
“Baik. Kamu sendiri?”
“Bad.” Ia tidak tahan untuk tidak berkata jujur. “I miss u, babe.”
Josh
“I miss u, babe.”
Kata-katanya tetap mampu menggetarkan hatiku, bisik Josh dalam hati. Aduh, apa yang sedang kupikirkan? Rutuknya dalam hati.
“Josh, adakah yang bisa kulakukan untuk membuatmu kembali?”
Adakah yang dapat kulakukan untuk membuatmu menerimaku kembali?
“Josh, I still love you, gimme a chance.”
Me either, Stan. Still love you too, babe.
“Josh. I really can’t live without you. I’m sorry. Can we start it again? I need you, Josh.”
You are my soul, how can a man live without a soul?
“Josh, please say something.”
Ah!
“Sudahlah, Stan. Jangan dibahas lagi.” Hati Josh seperti teriris ketika mengatakannya. “Hanya akan mengungkit cerita lama dan membuat kita semakin terluka.”
“Josh...what can I do to bring you back to me? Tell me, Josh.”
Love.
“Nothing.” Ia berusaha agar suaranya terdengar dingin. “Kau harus belajar terima kenyataan, Stan. Sudah ngga ada apa-apa lagi diantara kita, Stan.”
Terdengar desah kecewa di ujung sana.
I’m sorry, Stan.I’m sorry...
“Kita masih berteman, kan?” tanya Stan lemah.
“Tentu saja.”
“Bolehkan aku menghubungimu sewaktu-waktu?”
“Stan, jika kau menghubungiku hanya untuk kembali, jangan buang-buang waktumu, Stan. Kau masih punya banyak hal yang lebih penting. Pekerjaan, orangtua, semuanya...”
“Semuanya itu tidak berarti bila diandingkan denganmu, Josh,” bantah Stan. “You’re the best part in my life.”
“Sudahlah, Stan. Lupakan aku.”
“Mana mungkin aku melupakanmu? I love you, Josh. Love you, love you...”
“Stan sudahlah. Berhenti merayuku. Berhenti mengejarku. Aku...aku tak bisa kembali padamu karena aku sudah punya cowok baru.”
Apa yang telah kukatakan?
Hening beberapa saat sebelum hubungan terputus.
Stan
“Cowok baru? Cowok baru katanya?” Stan tertawa dalam kegelapan kamarnya. Ia tertawa terbahak-bahak bagaikan gila. “Cowok baru? Kau memang pintar menggaet cowok, Josh.” Ia tertawa lagi, sumbang.
Stan berjalan menuju kulkas, diambilnya sebotol Carlsberg dari sana. Ia membuka botolnya dan menenggaknya langsung dari sana. Tidak puas dengan satu botol, ia membuka lagi botol-botol lain sampai persediaan birnya habis. Namun itu tak bisa menghapus perih yang terasa di dadanya.
Akhirnya ia pun jatuh tertidur di lantai kamarnya.
Josh
Cowok baru?
Josh tertawa sumbang dalam hati. Dalam pikirannya yang paling jelek sekalipun, tak pernah ada cowok baru disana. Stan masih menjadi ksatria, pangeran, pahlawan dan malaikatnya.
Stan kekasih yang sempurna, sangat tampan, jantan, dan baik hati. Ia juga romantis, dan kaya. Apalagi yang ia inginkan?
Jawabannya langsung muncul dari pikirannya. Ia butuh perhatian lebih.
Sebelum jadi kekasihnya, Stan berjanji akan memperhatikannya melebihi apapun yang ada di dunia ini. Awal-awalnya Stan memang membuatnya serasa melayang di langit ketujuh. Tapi setelah masa-masa kemesraan berlalu, Stan berubah. Ia lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan dengan dirinya. Ia sering tidak pulang ke apartemen yang mereka sewa berdua dan menginap di studio. Ia sudah mencoba bersabar atas kelakuan Stan, tapi berapa lama ia bisa bertahan? Ia adalah orang yang sangat butuh perhatian dalam hidupnya, ia tidak pernah mendapatkan itu dari orangtuanya, karena ia yatim piatu sejak kecil. Lalu jika bukan dari Stan, dari siapa lagi ia akan dapat perhatian lebih?
Semuanya telah berlalu, pikirnya letih. Ia melepaskan semua pakaiannya dan menyusup ke balik selimutnya yang nyaman. Keletihan segera mengambil alih segalanya dan membawanya ke alam mimpi.
Stan
“Aku senang melihatmu kembali bersemangat, Stan,” kata Carlos di akhir lagu keempat yang dilatih mereka pagi itu. “Kelihatan sekali kau belum pulih seluruhnya, tapi paling tidak permainanmu sudah kembali seperti semula.”
“Kalian benar.” Stan menyetel bass-nya ke posisi yang cocok untuk lagu kelima. “The show must go on. Tidak boleh lagi ada masalah cinta dalam pekerjaan.”
“Siap untuk lagu kelima?” teriak Juan dari belakang keyboardnya.
Stan mengacungkan jempolnya. Tidak ada seorangpun yang melihat mata Stan yang hampa...
Josh
“Aku tidak peduli.” Josh mengaduk-aduk es jeruk di hadapannya dengan gelisah. Duduk di hadapannya adalah Juan. “Bagaimana keadaan Stan, itu urusannya, bukan urusanku.”
“Mengapa kau begitu keras kepala?” Juan mulai kesal dengan sikap dingin Josh. “Jelas-jelas cinta itu masih terpancar dari matamu. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kau tidak peduli lagi padanya?”
“Siapa bilang?” Josh langsung membantah. “Pancaran cinta apa? Kau mengada-ada.”
Tak menghiraukan bantahan Josh, Juan melontarkan pertanyaan. “Karena apa sih kau meninggalkannya?”
“Itu bukan urusanmu,” kata Josh ketus.
Juan tertawa. “Sesuai dugaanku kau pasti akan berkata begitu. Kalau begitu, pertanyaan terakhir. Apakah kau sudah tidak cinta padanya?”
Josh terdiam. Sinar matanya meredup. Pelan-pelan ia mengangguk.
“Aku masih mencintainya”
“Dan tentang cowok baru itu, itu hanya ciptaanmu kan?”
Lagi-lagi Josh mengangguk.
“Mengapa kau meninggalkannya?” Juan mengulangi pertanyaannya yang sempat terlontar, kali ini lebih lembut.
“Aku tidak tahan dengan kehidupan kami. Ia begitu tidak peduli padaku, band seolah telah membuatnya menjadi orang yang tidak kumengerti, tidak kukenal. Aku tidak menyalahkanmu atau band Axion, tapi aku tidak tahan lagi. Kalau hubungan ini diteruskan, kita berdua akan hancur.”
Ia menceritakan segalanya kepada Juan, entah kenapa.
“Maukah kau datang di konser kami untuk yang terakhir?”
“Buat apa?”
“Dengarlah perasaannya untuk yang terakhir kalinya.” Juan menyelipkan selembar tiket ke tangan Josh. “Ini tiketnya.”
“Baiklah.”
The Concert
Hingar bingar musik menyentak telinganya begitu ia menginjakkan kakinya di gedung pertunjukan itu. Josh tak habis pikir mengapa ia menyanggupi ajakan Juan datang ke sini.
Dilangkahkannya kakinya diam-diam ke sudut ruangan yang gelap. Dulu waktu ia masih menjadi kekasih Stan, ia selalu berdiri di barisan paling depan walaupun ia tidak suka musik-musik aliran slow rock seperti yang biasa dinyanyikan band Axion ini.
Setelah menunggu beberapa lama Stan akhirnya muncul. Ia keluar bersama Juan, Carlos, Santos, dan seorang lagi yang tidak dikenal Josh.
Stan tidak berubah. Ia terlihat sedikit kurus tapi tetap sangat tampan. Mau tak mau dawai di hati Josh bergetar lagi. Stan terlihat begitu hidup. Suara nyanyiannya mengisi gendang telinga Josh penuh-penuh.
Lagu demi lagu pun berlalu. Kenangan mulai berlarian di benak Josh. Perih di hatinya mulai terasa mengingat Stan bukan lagi miliknya. Mungkin bahkan Stan kini membencinya. Perlahan ia melangkahkan kakinya ke pintu keluar.
“Lagu ini baru saja kuciptakan.” Langkah Josh terhenti. Lagu baru? Stan memang pernah bilang kalau ia mau menciptakan lagu baru. Rasa ingin tahunya membuatnya mengurungkan niatnya untuk pulang. “Untuk mantan kekasihku yang sampai sekarangpun masih tetap kucintai.”
Stan mulai memetik gitarnya. Kali ini ia menggunakan gitar akustik.
You've made up your mind
It was time
It was over
After we had come so far
But I think there's enough pieces of forgiveness
Somewhere in my broken heart
I would not have chosen the road you have taken
It has left us miles apart
Well I think I can still find a will to keep going
Somewhere in my broken heart
So Fly
Go ahead and fly
Until you find out who you are
'Cause I
Will keep my love unspoken
Somewhere in my broken heart
I hope that in time
You will find what you longed for
Love that's written in the stars
And when you finally do
I think you'll see it
Somewhere in my broken heart
Jadi ia benar-benar sudah menerima kenyataan? Josh bertanya-tanya dalam hatinya. Tiba-tiba hatinya terasa sangat hampa. Sesuatu seperti menyumbat tenggorokannya. Bahkan lagu ini pun sampai tercipta.
Josh tak tahan lagi. Dengan langkah cepat ia meninggalkan gedung pertunjukan itu. Di belakangnya didengarnya hiruk pikuk sorakan bergema tak henti-hentinya.
Goodbye Stan.
Because I Love You
Hujan turun rintik-rintik saat ia menyusuri jalan raya pelan-pelan menuju apartemen yang disewanya. Apartemen itu dekat dengan gedung pertunjukan itu, jadi tadi Josh memutuskan untuk berjalan kaki saja dari apartemennya.
Bait terakhir lagu yang dinyanyikan Stan masih terngiang di telinganya
I Hope that In time
You’ll find what you longed for
Love that’s written in the star...
Air mata turun dari pelupuk mata Josh. Ia baru sadar sekarang, Stan-lah Love that’s written in the star-nya. Stan cinta sejatinya. Ia mencintainya sepenuh hati. Tapi semuanya telah terlambat. Ia memaksakan seulas senyum di bibirnya. Hujan turun semakin deras, seolah ikut menangis dengannya.
Setelah beberapa lama berjalan, pagar apartemennya terlihat juga. Ia membukanya lalu masuk. Ketika ia hendak membuka pintu apartemennya, ia mendengar suara mencurigakan. Instingnya langsung bekerja. Pencurikah? Atau penodong? Perampok?
Tiba-tiba dari balik semak-semak terdengar suara nyanyian. Josh tertegun.
If I got down on my knees and I'm here with you
If I cross the million oceans just to be with you
Would you ever let me down
Stan perlahan-lahan keluar dari semak-semak sambil tetap menyanyi. Ia berjalan menghampiri Josh yang hanya bisa mematung di tengah hujan.
“Stan?” Nyaris tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Wajahnya basah, entah oleh air mata atau air hujan.
If I climb the highest mountain
Just to hold you tight
If I said that I would love you every single night
Would you ever let me down
Well, I'm sorry if it sounds a kind of sad
Just there, I'm worry
So worry that you let me down
Because I love you, love you, love you
So don't you let me down.
If I swam along this river just to call your name
If I said the way I feel for you will never change
Would you ever fool around
I'm so worry that you let me down
, love you
I'm so worry that you let me down
, love you, love you,
Love you, love you
“Stan? Benarkah ini kamu?”
Stan mengangguk. “Aku...”
“Jangan katakan apa-apa lagi, Stan.” Josh meletakkan jarinya di bibir Stan. Sedetik kemudian ia menggantikan jari itu dengan bibirnya. Ia mencium Stan dalam-dalam.
Tangan Josh gemetar meraba-raba ke dalam saku. Di mana sih kunci sialan itu...
"Tenang, babe, kita punya banyak waktu..." bisik Stan di telinga Josh seraya mendaratkan bibirnya di tengkuknya.
Ini dia kuncinya, masukkan... buka pintu... masuk... tutup pintu. Ahh, akhirnya beres juga. Josh bernafas lega. Sejurus kemudian ia dan Stan sudah berada dalam kamarnya.
Hanya sedetik mereka berpandangan. Sekonyong-konyong Stan mendorong Joshh ke dinding. Dalam sekejap, lidahnya telah bermain-main dalam rongga mulutnya, menjelajahi setiap sudut. Tangannya meremas-remas pinggul Josh mesra sementara Josh berjuang membuka kancing kemejanya satu demi satu, dengan tidak sabar. Stan tertawa kecil, namun bibir mereka tetap tak terpisahkan, lidah bertemu dan saling melumat seperti sepasang kekasih yang didera rindu... seperti mereka...
Kancing terakhir, dibiarkannya kemeja denim basah itu terjatuh. Tangan Josh menelusuri dada Stan yang bidang, otot-otot perutnya yang menonjol, dan turun ke bawah, membuka jeansnya...lalu celana dalamnya....
Stan mengunci kedua tangan Josh di dinding, membuatnya tak berdaya.
"Nikmat sekali, Josh..." bisiknya sambil menggigit-gigit leher Josh, menjilat dan memanjakan daerah sensitifnya.
"Ohh, Stan..." Josh mengerang. Darahnya kembali bergolak.
Stan tak sabar, disingkirkannya barang-barang di lantai. Sambil menyangga kepala Josh dengan tangannya, didorongnya tubuh Josh ke lantai kamarnya yang berkarpet. Mereka pun bergumul penuh nafsu di atas karpet. Dengan sebelah tangan Stan merobek kemeja Josh yang basah dan membuangnya jauh-jauh, disusul jeansnya dan celana dalamnya.
Diangkatnya satu kaki Josh ke atas bahunya, wajahnya kini berada diantara kedua paha Josh. Lidahnya bergerak lincah di daerah segitiga sensitif Josh, memberikan sensasi yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
“Eghh...don’t stop Stan...” erang Josh. Sejurus kemudian tubuh Josh serasa melayang. Tapi ia tidak ingin melayang seorang diri.
“Stan...I...wanna feel you...inside me...ooohh...” Kenikmatan yang luar biasa membuat kalimat Josh terputus-putus.
Stan mengintip dari balik kaki Josh sambil tersenyum. “Are you sure?”
Josh mengangguk.
Suara hujan di luar semakin deras. Memukul-mukul jendela dengan dahsyatnya, bercampur dengan suara-suara guntur, seolah-olah berlomba dengan erangan-erangan Josh dan Stan.
“Stan...aku ngga kuat lagi...” rintih Josh. Ia merasakan tusukan Stan semakin kuat, semakin dalam sementara tangan Stan begitu lihai menari di tubuhnya.
Josh merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Saatnya telah tiba. Di saat yang sama, ia merasakan tubuh Stan juga bergetar dengan hebat. Ia merasakan Stan berdenyut-denyut di dalamnya.
“Eegh...Stan...aku sampai...oohhh....”
“Josh...oh...Josh...” Stan memeluk Josh erat-erat dan menempelkan bibirnya ke bibir Josh. Josh belum pernah berciuman di saat klimaks. Mmmhh, waktu terasa begitu lambat. Terengah-engah Stan menjatuhkan kepalanya ke dadaku.
“I love you, Stanley.”
Stan menatap Josh dengan lembut sebelum berbisik pelan di telinganya.
“I love you too, Josephine.”

Indahnya Mimpiku

Saya baru saja tinggal jauh dari keluarga pada suatu daerah di jawa. Kenapa bisa begitu ? Yaaa... itu semua karena saya kuliah di sana.
Sudah 3 tahun saya kuliah disana. Tentunya sudah banyak pertemanan yang kujalin, baik dengan cowok maupun cewek. Tapi, saya lebih akrab berteman dengan cowok. Bukan karena suatu kewajaran, cowok seharusnya bergaul dengan cowok, tapi karena saya mempunyai orientasi seksual yang lain daripada yang lain, yaitu gay.
Ke-gay-anku belum diketahui oleh teman-temanku. Hal itu sengaja saya tutup-tutupi. Saya tidak ingin teman saya tahu kecuali teman saya itu juga gay. Tapi selama ini rasanya tidak ada teman saya yang gay. Sehingga saya hanya bisa menikmati keindahan teman-teman cowok saya secara diam-diam. Hingga hal tersebut terbawa ke dalam lamunanku saat terbaring di atas pulau kecilku yang dingin-dingin empuk.
suatu saat, saya berada di kamar kostku. Temanku datang mencari teman kostku yang ternyata sedang keluar. Akhirnya sembari menunggu temanku itu, kita mengobrol. Tiba-tiba saja ada perasaan yang tidak enak yang dialami "adik kecil"-ku. Langsung saja saya permisi sebentar untuk ke toilet. Ternyata temanku itu juga ingin ke toilet. Yaa.. udah kita akhirnya ke toilet bersama-sama.
Di dalam toilet, saya buka celana saya sembari menyodorkan pistol saya dan memuntahkan pelurunya ke jamban toilet. Temanku itu memperhatikanku dari belakang. Memang, saya begitu menikmati keluarnya muntahan dari pistolku ini. Begitu puasnya saya, sehingga tak disangka telah membuat temanku di belakang menjadi terangsang melihatku. Tak usah menghabisakan waktu lagi, temanku itu langsung mendekatiku dari belakang dan memelukku. Saya terkejut dan sedikit takut karena celana saya belum terpasang kembali. Ternyata itulah yang diinginkan oleh temanku. Dia mengarahkan senjatanya ke sasaran yang terbelah dan penuh rumput hitam yang kupunya. Saya begitu takut, tapi dia pun segera menenangkan hatiku. Dia mulai permainan ini dengan nada yang menghanyutkan diriku. Saya begitu terbuai oleh permainan cantiknya.
Tiba-tiba.... segerombolan teman kostku memasuki ruangan toilet itu. Kami sempat terkejut dan dia segera mencabut senjatanya yang terancap pada dinding retak yang empuk milikku. Kami segera memisahkan diri, seolah-olah tidak terjadi apa-apa diantara kami. Temanku itu segera meninggalkanku dan menemui teman kostku yang dicarinya. Jantungku masih berdebar dengan kerasnya. Begitu temanku itu memandangiku lagi, saya tak berani membalas pandangannya itu. Namun, saya mengerti bahwa hal ini belum berakhir.
Benar saja, keesokan harinya temanku itu datang kembali. Dia langsung datang ke kamarku yang terkunci. "Tok...tok...", bunyi ketukannya mengetuk pintu kamarku. Saya membukakan pintunya dan temanku itu lagi-lagi menanyakan teman kostku. Teman kostku pun ternyata sedang keluar lagi. Tapi saya tahu pertanyaan itu hanyalah basa-basi belaka. Sebenarnya dia mencari saya. Lalu dia masuk ke kamar saya dan langsung mendorongku ke arah tempat tidurku. Saya terjatuh dan berbaring di pinggir kasurku. Dia datang dan segera menindihku. Dalam keadaan berpakaian lengkap, dia menggesek-gesekkan anunya ke punyaku. Semakin kerasa dan keras dengan nada yang cepat. Saya melihat ekspresinya yang begitu menikmati permainannya kali ini. Terkadang dia pun mengeluarkan desahan-desahan yang menggairahkan. Membuatku semakin terangsang. "Aaahh...aahh...", begitulah kira-kira desahan yang kudengar dan akan selalu kuingat.
Tiba-tiba... teman kostku melihat pintu kamarku yang agak sedikit terbuka. Dia mendekat dan melihat temanku berada dalam kamarku itu. Tanpa pikir panjang teman kostku itu memanggil temanku itu. Begitu kagetnya kami, terutama saya. Karena saya takut ke-gay-an saya diketahui oleh teman-teman sekostku akhirnya. Bisa-bisa saya diisolir dari pergaulan mereka. temanku langsung membalas panggilan teman kostku itu tanpa rasa malu. Lalu dia menghampiri teman kostku itu dan berbincang-bincang dengannya seolah-olah tak terjadi apa-apa di dalam kamarku itu. Dan herannya lagi, teman kostku pun seolah-olah tidak melihat perbuatan kami, atau memang dia tidak mengetahui apa yang kami perbuat.
Saya begitu takut. Saya terus memikirkan apakah teman kostku itu mengetahuinya atau tidak. Saya terus memikirkan hal tersebut. Tiba-tiba... mataku mulai terbuka dengan tergesa. Ternyata, apa yang barusan kualami hanyalah sebuah mimpi. Tak habis pikir, kenapa saya memimpikan hal ini. Dengan temanku yang kuyakini dia itu tidak gay, lagi! Walau bagaimanapun, saya anggap inilah mimpi yang paling indah yang pernah kualami. Saya yakin mimpi ini datang berdasarkan keinginanku yang dari dalam.

Majikan Gw Yang Manja

“Jii…Ajii…kesini sebentar!” itu suara Dino, aku memanggilnya Mas Dino, anak majikanku. Usianya sama denganku, kami sama-sama masih duduk di kelas 2 SMU. Aku segera bergegas memenuhi panggilannya, soalnya anak ini rada-rada manja. kalo dia ngambek gara-gara aku terlambat memenuhi panggilannya, bisa berabe. Aku bakalan kena omelan Nyonya seharian.
“Ya, sebentar Mas,” jawabku, kuletakkan buku Matematika yang sedang kubaca. “Perasaan bukan cuman dia doang yang ujian, aku juga ujian besok,” sungutku dalam hati. Pasti ini bakalan minta aku ajarin matematika lagi. Jujur aja, males aku kalo harus ngajar dia. Dibilang bego, bisa berabe, cuman kalo diajarin emang gak bisa ngerti-ngerti dia. Aku gak tahu apa yang ada dikepalanya. Ngerepotin aku aja nih. Sambil bersungut aku berjalan cepat menaiki tangga rumah besar milik Tuan Arifin Wijaya, majikanku, kamar Dino ada di lantai dua rumah itu.
Majikanku sebenarnya orang baik. Buktinya aku disekolahkan olehnya. Memang sih bukan sekolah bonafit seperti sekolah Mas Dino. Tapi dibiayai sekolah saja olehnya, aku sudah cukup senang. Soalnya ketika dibawa dari kampung, aku tak pernah punya fikiran Tuan Arifin Wijaya seorang pengusaha tionghoa yang cukup sukses di medan dan istrinya yang asli sunda itu bakalan menyekolahkan aku. Paling aku hanya akan dijadikan tukang kebun di rumah gedung miliknya yang sekarang aku tinggali ini. Makanya aku sangat tidak enak hati kalo Nyonya Wijaya kesal padaku hanya gara-gara anak bungsunya yang manja ini.
“Tok..tok..tok…, “ tanganku mengetuk pintu kamar Mas Dino pelan sebelum pintu kamar itu kubuka. Kemudian aku berdiri di pintu kamarnya yang luas dan dipenuhi dengan berbagai poster tokoh komik seperti spiderman, superman, batman itu. Nih anak badannya aja yang gede, tapi masih aja demen ama komik, kataku dalam hati. Dan seperti biasa aku disambut dengan omelannya yang sama dan sebangun setiap kali aku dipanggilnya, “Lama banget sih lo,”
“Maaf Mas Dino, aku tadi lagi konsentrasi baca buku Matematika, kan besok ujian, saking konsennya baca buku, panggilan Mas Dino agak sayup-sayup ku dengar,” jawabku membela diri. “Alasan lo,” katanya tanpa perlu memandangku, matanya tak lepas dari layar komputer yang ada didepannya. Lo, aku pikir dia lagi belajar, tak tahunya sedang asik main komputer ini. Lalu untuk apa aku dipanggilnya.
“Ada apa Mas, kok aku dipanggil?” tanyaku.
“Kapan Papi sama Mami balik dari Hongkong?” pertanyaanku tak dijawabnya, malah dia menyampaikan pertanyaan kepadaku.
“Bukannya masih seminggu lagi Mas,” jawabku, masih berdiri di pintu kamarnya.
“Hmmmm,” gumamnya. “Masuk sini! Tutup pintunya!” katanya.
Aku masuk lalu menuju meja belajarnya yang bulat dan berkaki rendah itu. Biasanya juga kalo ke kamarnya aku langsung menuju ke meja itu. Mataku tidak berani melirik monitor komputer, soalnya pernah sekali aku melirik monitor dan disana terpampang tubuh bugil indah milik Pamela Anderson. Aku malu sekali waktu itu, wajahku merah, sementara dia ngeledek aku karena malu ngelihat gambar begituan. Akhirnya kami tidak jadi belajar waktu itu, karena konsentrasiku benar-benar hilang gara-gara melihat gambar itu. Kontolku ngaceng sejadi-jadinya waktu itu.
Ketika aku baru saja lesehan menghadap ke meja itu, tiba-tiba dia memanggilku, ”Sini Ji,” katanya. “Gua mo nunjukin lo gambar bagus,”katanya. “Enggak usah mas,” jawabku pelan. Tapi dia membalas jawabanku dengan suara keras, “Kalo lo gua suruh liat gambar, maka lo harus liat gambar! Sini!” katanya marah.
Daripada urusannya panjang segera aku bangkit dan mendekatinya, berdiri di belakangnya dan melihat ke monitor komputernya. Betapa kagetnya aku, jantungku serasa copot melihat gambar yang terpampang di monitor komputer itu. Seorang cowok bule, muda, ganteng, kekar dalam keadaan bugil sedang menungging dengan bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Dibelakangnya seorang cowok yang juga bule, muda, ganteng, kekar, dan juga bugil memasukkan kontolnya yang besar dan panjang kedalam lobang pantat cowok yang sedang menungging itu. Mataku berkunang-kunang melihat gambar yang “tak biasa” buatku itu. Aku terpaku, dan ketika tersadar aku bersegera untuk pergi dari tempatku berdiri, namun tangan putih berbulu halus, kekar milik Dino menahan tanganku. “Jangan kemana-mana. Lihat aja baik-baik,” katanya tegas.
Selanjutnya berganti-ganti gambar-gambar berbagai posisi persenggamaan sesama laki-laki disuguhkan Dino di depan mataku. Aku hanya bisa melotot melihat gambar-gambar itu. Pelan-pelan jantungku mulai normal detakannya, namun bulu romaku terasa merinding, pelan-pelan aku merasakan kontolku mulai bergerak-gerak, mengeras dan semakin keras. “Mas, kenapa lihat gambar beginian…???.” tanyaku pelan, dan aku yakin suaraku terdengar sangat bergetar. Dino tak menjawab, namun kemudian ia memandangku dengan pandangan yang menurutku aneh, tiba-tiba aku risih dengan pandangannya. Selama ini bila aku memandangnya yang muncul hanya perasaan kesal, keqi, dongkol atas gaya manjanya saja.
Selain aku risih melihat tatapan anehnya itu, tiba-tiba wajah gantengnya juga menggangguku. Ada getaran aneh di hatiku ketika aku memandang wajahnya. Dino memang ganteng. Kegantengannya sudah diakui, kenapa? Soalnya bulan lalu saja dia mendapat predikat Juara I pemilihan model sebuah majalah terkenal. Hidungnya mancung, bulu matanya tebal, bibirnya tipis dan kemerahan, kulitnya putih bersih dan ditumbuhi bulu-bulu halus di pergelangan tangan, betis, dan mungkin sampe pahanya. Aneh, aneh, selama ini aku tidak pernah memperhatikannya secara fisik. Kenapa kok tiba-tiba aku jadi begini sekarang??
Tubuhnya tinggi kokoh, mungkin sekitar 185 cm karena kalo aku berdiri disampingnya tubuhku lebih pendek sedikit darinya, sedangkan tinggiku 175 cm. Tubuhnya atletis, mungkin karena dia rajin renang dan rajin main volli, dia anggota tim inti volli di sekolahnya. Bukannya nyombong, tubuhku juga kekar dan atletis, bukan karena olahraga namun karena bekerja. Dulu di kampung pekerjaanku apalagi kalau bukan mencangkul sawah. Karenanya tubuhku lebih hitam dari Dino. Waktu baru tiba di rumah ini, tubuhku lebih hitam dan kulitku lebih kasar dari sekarang. Namun setelah hampir setahun aku tinggal disini kulitku sudah tidak terlalu hitam lagi, dan juga tidak sekasar dulu lagi, mungkin karena pengaruh makanan dan kini kulitku jarang terpanggang panas matahari.
Tiba-tiba tangan Dino menggenggam tanganku erat, lalu aku ditariknya ke tempat tidurnya yang empuk. Aku didudukkannya, kami duduk berhadapan. Dipegangnya daguku yang terbelah. Lalu dengan menatap mataku dalam-dalam Dino berkata,”Aku pengen nyobain apa yang kita lihat di gambar-gambar tadi dengan kamu. Kamu mau kan?!!” tanyanya lembut namun tegas. Sosok Dino sekarang benar-benar berubah kurasa. Bukan seperti Dino yang selama ini aku kenal. Kali ini dia begitu tegas dan matang tidak manja dan menjengkelkan seperti biasanya. Tatapannya elangnya benar-benar menyihirku, sehingga tanpa ada perlawanan aku mengangguk, mengiyakan permintaannya itu.
Selanjutnya wajahnya semakin dekat mendekati wajahku. Nafasnya yang hangat berhembus diwajahku. Tiba-tiba aku merasa bibirnya lekat di bibirku. Bibirku terasa basah oleh air hangat. Rupanya lidahnya mulai menyapu bibirku. Pelan-pelan lidah itu mendesak ingin masuk kedalam mulutku. Secara alami mulutku mulai membuka membiarkan lidah Dino mencari lidahku. Mulut kamu kemudian saling melumat, menghisap, dan lidah kami beradu dengan dahsyat. Baru sekali ini aku berciuman, dan gilanya dengan seorang cowok. Namun ciuman itu terasa sangat nikmat kurasakan. Kami terus melumat, lama.
Setelah selesai acara lumat-melumat dilanjutkan dengan cupang mencupang. Bergantian kami saling menyerbu leher, telinga, belakang leher untuk mencupang satu sama lain. Aku yakin baik Dino dan aku baru sekali ini melakukan hubungan sejenis, namun entah kenapa kok dia cepat pintar dalam hal ini. Entah siapa yang memulai, tangan kami sudah menjelajah entah kemana-mana. Karenanya jangan kaget kalo kami sekarang sudah dalam keadaan telanjang bulat saling bergantian menindih. Aku sendiri bingung entah siapa tadi yang pertama memulai aksi buka baju, aku tak ingat. Tapi kok ketika aku melirik sekilas ke lantai kamar pakaian kami sudah bertebaran disana.
Tubuh kami yang berkeringat saling bergesekan. Kami mengerang-erang, gesekan-gesekan tubuh kami menimbulkan rasa yang nikmat. Tidak bisa kukatakan bagaimana nikmatnya, namun arghhhhh. Sekarang ini aku sedang menindih Dino, melumat bibirnya, meremas rambutnya, menggesek-gesekkan dadaku yang bidang ke dadanya. Menggesek-gesekkan kontolku yang keras ke kontolnya. Meskipun kami berdua belum saling melihat kontol masing-masing, tapi aku yakin kalo kontol kami sama-sama besar, keras dan panjang. Ini bukannya nyombong lo. Ganjalan di perutku ini yang mengatakan itu.
Bosan dengan aksi gesek-menggesek Dino mengajakku bermain 69. Aku menungging bertumpu pada dua tanganku dan kakiku, sementara dibawahku Dino telentang dengan kepala mengahadap ke atas ke selangkanganku memandang kontol kerasku yang tegak sampai ke pusar. Sementara dihadapanku sekarang tegak kontol Dino. Dugaanku ternyata benar. Kontol Dino besar, meskipun belum sebesar punyaku. Tanganku menggenggam kontol itu, namun jari-jariku tak bisa bertemu. Batangnya berwarna kuning langsat kemerahan. Kepala kontolnya berwarna lebih gelap. Di pangkal kontol itu bertebaran bulu jembut halus, namun lebat, tumbuh hingga ke lobang pantatnya.
“Besar banget kontol mu, Ji….hmmpppppppp.” desah Dino sambil mulutnya menyelomoti batang keras ku itu. Aku hanya tersenyum. Lalu mulutku pun mulai mengerjai batang kejantanan anak majikanku yang keras ini. Entah kenapa mengemut, menghisap, menjilat kontol ini sangat nikmat kurasa, dan Dino pun kayaknya juga sangat menikmatinya. Padahal kontol ini tak manis rasanya seperti permen atau es krim. Rasanya asin, dan baunya pun sebenarnya tak enak, karena sudah bercampur bau ludah, precum, dan mungkin sedikit air kencing. Tapi entahlah… Kok aku menyukainya. Lidahku tak berhenti-henti menjilat, mulutku tak berhenti-henti mengulum, menyedot, menghisap. Srupppppppp. Dino pun begitu. Malah dia lebih nakal lagi, lidah dan mulutnya mulai berani-beranian mengekspansi ke arah lobang pantatku. Lobang pantatku terasa basah dan hangat karena jilatan lidahnya. “Arghhhhhhhhhhhh…” Aku mendesah kegelian, gesekan lidahnya yang kasar di lobang pantatku benar-benar nikmat rasanya jeck. Saking nikmatnya aku jadi melupakan kontol gede dihadapanku ini. Aku konsentrasi menikmati kenakalan mulut dan lidah Dino dibawah sana, eh jarinya pun mulai nakal juga rupanya. Ngapain tuh jari menusuk-nusuk pantatku?? Aku mendelik, bukan karena marah, tapi karena keenakan.
Aku benar-benar lupa dengan kontol Dino, aku mengerang-erang keenakan. Dan Dino pun tak memaksaku untuk mengrejai kontolnya lagi. Rupanya dia pun sedang keasikan mengerjain lobang pantatku. Malah tiba-tiba dia membebaskan dirinya dari kangkanganku. Dari lobang celah antara kedua pahaku dia beringsut keluar. Lalu dia menungging dibelakangku. Dan mulai merimming pantatku dengan mulutnya. Ohh….shitt…mulutnya nakal banget, lidahnya nakal banget, jari-jarinya itu juga. Kok enak bangetthh…Ohhhhhhhhh…Aku memejamkan mataku menahan rasa nikmat itu.
Lidah, mulut, dan jari Dino tak putus-putus mengerjain lobang pantatku, sekali-kali dikocoknya juga batang kontolku. Tapi tiba-tiba aku merasa Dino menghentikannya. Aku kebingungan, aku menunggu siapa tau dia akan melanjutkan lagi. Tapi tak ada tanda-tanda Dino melanjutkan lagi. Aku menoleh ke belakang mencari tahu apa yang terjadi, kenapa Dino menghentikan aksinya. Kulihat dibelakangku Dino sedang memasangkan kondom ke kontolnya yang besar dan mengacung itu. Aku kaget, Mas mau ngapain…?” tanyaku bergetar. Dino tak menjawab. Dino benar-benar lain, biasanya dia cerewet, namun sepanjang persenggamaan ini dia benar-benar jadi orang yang banyak bekerja sedikit bicara. Jari telunjuknya diletakkannya ke mulutnya, memberi isyarat kepadaku agar tidak bicara lagi. Akupun diam.
Tak lama aku merasakan lobang pantatku mulai dijejali dengan sebuah bongkahan benda keras, kenyal dan besar. Kontol Dino mencoba memasuki lobang pantatku yang masih perjaka. “Orgghhhhh...orghhhh…orghhh.” aku mengerang-erang, kesakitan. Namun Dino tak memperdulikannya, terus saja dia mencoba menjejali lobang pantatku. Sedikit demi sedikit kontol besar berkondom itu memasuki lobang pantatku. Lobang pantatku terasa panas, perih. Aku memejamkan mata menahan sakit. Namun untuk menolak keinginanannya aku tak mau. Karena aku juga menikmatinya. Aku menahan rasa sakitku itu hingga akhirnya aku rasakan bulu jembut Dino menggesek belahan pantatku. Rupanya seluruh kontolnya telah masuk semua. Tak kusangka anus sempitku sanggup juga menelan batang keras dan besar itu. Arghhhhh….
Dino mendiamkan kontolnya sesaat. Aku mengambil kesempatan itu untuk meralakskan lobang pantatku sekaligus mengatur nafasku. Tiba-tiba tanpa pake woro-woro terlebih dahulu Dino menarik kontolnya dan segera membenamkannya lagi. Memang tak seluruh kontol itu bisa ditariknya karena sempitnya lobang pantatku namun gesekan itu cukup membuatku untuk menjerit. “Akhhh…” aku benar-benar kesakitan. Dino tak memperdulikan jeritanku, malah aksi tarik sorong itu kemudian dilakukannya terus berulang-ulang. Awalnya pelan namun setelah kontolnya dapat beradaptasi dengan lobang pantatku, gerakannya cepat dan semakin cepat. Aku pun menjerit-jerit. Untunglah kamarnya itu kedap suara, sehingga jeritanku tak perlu mengganggu orang lain di rumah. Soalnya selain kami, Bi Ijah tukang masak dan urusan dapur, Mang Diman supir dan Mbak Ayu dan Mbak Jumi tukang bersih-bersih rumah, juga ada di rumah itu.
Tak lama jeritanku mereda, bukan karena Dino menghentikan gerakannya, namun memang kemudian gesekan kontol Dino itu tak lagi kurasakan sakit seperti tadi. Gesekan itu semakin lama semakin enak kurasakan. Akhirnya jeritanku pun beralih menjadi erangan-erangan. “enggg…enggg…engggg…enggg…” Keringat memabsahi tubuh kami berdua.
Goyangan Dino semakin binal dan cepat, nafasnya liar dan tak beraturan, tangannya meremas pinggangku kuat-kuat. Kontolnya mengaduk-aduk lobang pantatku. Mulutnya melumat-lumat leher belakangku, giginya menggigit-gigit kecil disana. Tiba-tiba Dino melakukan gerakan hentakan kontol di lobang pantatku, dibenamkannya kontolnya sedalam-dalamnya di lobang pantat ku itu. Lalu kurasakan ada yang menggelembung didalam pantatku. Aku yakin itu pasti ujung kondomnya yang sudah dipenuhi dengan sperma. Gelembung itu terus membesar. Dino mengeluarka sperma yang banyak kurasa. Dino lalu lemas, kelelahan setelah menguras tenaga dan rebah diatas tubuhku. Tak tahan menahan tubuhnya yang berat aku pun merebahkan diri di kasur empuk itu dengan tubuh Dino diatas tubuhku. Kontolnya masih tersimpan dengan aman di lobang pantatku.
Nafas Dino tak beraturan. Pelan-pelan dia mulai mengatur nafasnya kembali. Aku tergeletak telungkup, menyadari apa yang baru terjadi. Aku baru saja kehilangan keperjakaan pantatku. namun bagaimana dengan keperjakaan kontolku. Aku belum keluar apa-apa. Aku juga ingin merasakan apa yang baru saja dirasakan oleh Dino, tapi bagaimana? Apakah dia mau?
Pelan-pelan aku mendengar dengkuran halus Dino diatasku. Dia sudah tertidur rupanya. Benar-benar dia hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Tiba-tiba kembali aku kesal padanya. Kontolnya saja masih menikmati kenyamanan lobang pantatku namun ia sudah melupakanku. Aku marah padanya. Tanpa memperdulikan dia anak majikanku, kemudian aku menolak tubuhnya kasar. Kontolnya terlepas dari lobang pantatku. Dia terbangun. “Ada apa?!!!” tanyanya bingung.
Tak kupedulikan dia lalu dengan kasar aku terlentangkan tubuhnya dan aku tindih. Dino meronta-ronta. Mau dia rajin olahraga tetap saja tubuhku lebih kuat darinya. Akhirnya seperti aksi UFC di televisi aku berhasil membuatnya telentang pasrah dengan kedua paha mengangkang lebar.
Dengan paksa kumasukkan kontolku yang besar itu ke lobang pantatnya, tanpa kondom. Dia kelihatan protes, terlihat dari delikan matanya, tapi mulutnya tak lagi bisa bersuara akibat telah kusumpal dengan sobekan celana dalam miliknya. Dia terus mencoba melawan, tangannnya mencakar-cakar punggungku, namun itu malah semakin membuatku bergairah. Dengan paksa kontolku kubenamkan ke lobang pantatnya, delikan Dino semakin lebar, aku yakin dia sangat kesakitan namun tak bisa menjerit.
Aku sendiripun kesusahan memasukkan kontolku ke lobangnya. Entah karena kontolku yang sangat besar atau karena lobang pantatnya yang sangat sempit, sangat susah kontol ku terbenam kesana. Keringat ku kembali bercucuran. Namun aku paksa terus. Akhirnya batang itupun dapat masuk namun hanya ¾ nya saja kurasa. Segera kontol itu ku goyang tarik tusuk. Sangat susah aku melakukaannya, aku merasakan kontolku dicengkeram sangan ketat. Namun terus kulakukan gerakan itu. Tapi dalam tempo yang masih sangat lambat. Dibawahku Dino mencakarku dengan sangat keras, aku rasa punggungku berdarah, mungkin dia sangat kesakitan. Kondomnya terlepas akibat gesekan kontolnya di perutku, spermanya tumpah ruah di perut kami, menyebabkan daerah perut kami licin.
Tak lama goyanganku semakin lebih lancar, rupanya kontolku sudah dapat beradaptasi disitu. Akhirnya kontolkupun dapat masuk seluruhnya, goyanganku pun dapat kupercepat. Aku pandangi wajah Dino dengan senyum menyeringai, sementara dia menatapku dengan tatapan sangat marah. Goyanganku semakin pelan, dan aku lihat mata Dino mulai terkatup-katup, aku buka sumpalan mulutnya. Dari mulutnya terdengar erangan-erangan, dia sudah keenakan juga rupanya. Ketika dia membuka matanya aku tersenyum seindah mungkin padanya, namun dia malah membuang muka meskipun erangannya tak bisa disembunyikannya. Buktinya kedua tangannya asik meremas belahan pantatku, dan pantatnya juga bergoyang lembut membalas goyangan ku. “Dasar muna,” kataku dalam hati. Tapi aku tak peduli dia mau buang muka lagi atau enggak yang penting aku enak. Goyanganku tetap kulakukan seintens mungkin. Dan dari erangannya aku tahu si ini bener-bener keenakan.
Buktinya sekarang dia malah dengan bernafsu menggoyangkan pantatnya naik turun menduduki kontolku. Sementara aku telentang dibawah meremas-remas dadanya. Wajahnya tetap saja tak mau melihatkau, kalo tiba-tiba kami bertemu pandang dia cepat mengalihkan pandangannya, namun tetap saja dia menggenjot-genjot.
Tiba-tiba aku merasa kontolku akan meledak. Aku dorong dia, kupaksa dia telentang tak kucabut kontolku dari lobangnya. Lalu aku tindih dia, kupegang kedua pipinya, kupandangi matanya. Aku ingin ketika muncrat memandangi matanya. Kupaksa dia memandangiku. Lalu pantatku bergoyang cepat-cepat-cepat. “Hoh…hoh…hoh…hoh…hoh…..hoh….hoh…..hoh…..,’” suara deru nafasku.
Kucium mulutnya dengan penuh nafsu ketika aku merasakan spermaku melompat ke luar, menyembur-nyembur membasahi dinding-dinding anusnya. Semburan spermaku begitu deras dan banyak. Aku merasakan lobang pantatnya berkedut-kedut saat menyambut semburanku. Aku memejamkan mataku menikmati sensasi semburan spermaku. Lalu kami pun ambruk diatas tempat tidur. Tertidur, kelelahan.
Ketika aku terbangun karena merasa kontolku akan kembali mengeluarkan sperma, aku kaget melihat Dino sedang duduk mengangkangi kontolku sambil mengocok-ngocok kontolnya sendiri. Aku tersenyum padanya, dan dia tetap membuang muka. Rupanya ini benar-benar ketagihan dengan kotolku, bisikku dalam hati. Tak kupedulikan kemuna-annya, malah ku hentakkan pantatku bergoyang cepat naik turun membalas goyangannya, akibatnya Dino pun semakin mengerang keenakan.
Tamat

Aku Seorang Perawat 2

Teman-teman pasti masih ingat ketika pertama kalinya kubertemu Jon sebagi pasienku dan kemudian dia menjadi partnerku baik dalam usaha maupun dalam tempat tidur.
Aku selalu setia pada Jon dan hanya melayaninya saja karena aku sudah cukup puas dengan penisnya yang besar, badannya yang tegap dan gairahnya yang tidak ada hentinya, tepatnya sebetulnya bukan puas tapi aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk mencari yang lain, karena selain waktuku terbatas, harus mengurusi pasien-pasienku, terutama setelah aku diserahkan kepercayaan mengelola klinik di Tangerang, hampir setiap malam Jon minta dilayani sebelum pulang ke istrinya.
Kadang saya tidak habis pikir hampir setiap malam saya dan Jon bersetubuh tapi setiap pulang dia masih punya tenaga untuk memuaskan istrinya, saya memang menyadari makin hari makin terasa Jon sebagai seorang yang hipersex, dia tidak perduli kalau saya sudah lelah dan tak bertenaga, dia tetap saja memaksakan kehendaknya, seringkali saya merasa diperkosa olehnya. Jon yang saya kenal dulu mulai berubah tapi saya tetap menyayanginya.
Suatu ketika Jon dikirim oleh kantornya ke luar kota untuk melakukan audit selama 2 bulan, di satu sisi saya merasa kesepian tetapi di lain sisi saya merasa bebas.
Saya dapat berpraktek dengan tenang dan tanpa beban karena harus melayani Jon setiap malamnya, sampai pada suatu saat saya mendapat teman baru seorang dokter baru, walaupun dia tahu saya dasarnya adalah perawat tetapi dia tidak pernah arogan dan sombong, namanya Dokter Rico, baru saja menyelesaikan tugas PTT nya, itu lho yang sampai sekarang diributin pemerintah.
Dokter Rico usianya kira kira sama dengan saya, dia sebelumnya bertugas di Serang. Dia asli orang Maluku, Neneknya orang belanda, bisa dibayangkan penampilannya seperti apa, masih bujangan dan karena dia tidak ada tempat tinggal, saya tawarkan untuk menggunakan satu kamar kosong diatas klinik, sedang saya tidur di kamar bawah.
Malam malam sepi saya mulai terobati, dokter Rico adalah orang yang ramah, humoris dan yang terpenting adalah pintar masak sehingga setiap habis praktek kita biasanya makan bersama, rasanya nikmat sekali , sambil santai merokok jam 12 malam, rasanya saya bahagia sekali, kalau dengan Jon biasanya dia pulang sebelum jam 12 , setelah saya memuaskan nafsunya, tetapi dengan dokter Rico kita bisa berbicara tentang segala hal terutama tentang hal medis.
Suatu malam sehabis makan malam, dokter Rico mengutarakan maksudnya untuk minta disirkumsisi oleh saya, saya kaget sekali dan bertanya kenapa? Dokter Rico mengatakan bahwa diperlukan seseorang yang dapat dia percaya untuk bisa masuk ke dalam daerah intimnya, darah saya berdesir deras ketika dia katakan itu, dengan terbata bata karena deg degan saya bertanya “apakah itu berarti saya adalah orang yang dapat dipercaya?”, dokter Rico hanya tersenyum, aduh manis dan penuh arti.
Pada saat itu saya tidak tahu apakah dokter Rico ada perasaan terhadap saya atau tidak karena selama ini saya tahu bahwa beliau mempunyai tunangan di Serang, jadi malam itu adalah kesempatan saya untuk menanyakan banyak hal kepadanya dan saya langsung membuka kedok diri saya, yang menyukai pria ganteng sepertinya.
Dokter Rico ternyata tidak keberatan dengan perasaan saya dan karena itulah ia meminta saya untuk melakukan sirkumsisi terhadap dirinya. Kemudian dokter Rico mengajak saya untuk ke kamar praktek untuk memberikan kesempatan kepada saya menilai tindakan yang paling tepat yang perlu dilakukan, wow saya tidak menolak.
Pelan pelan dokter Rico menanggalkan pakaiannya satu persatu sampai celana dalamnya, kembali lagi wow, baru pertama kali saya melihat penis yang masih berkulup dan penisnya juga amat besar, milik Jon masih kalah besar, kulupnya pun masih rapih menjuntai, pelan pelan saya sentuh penis tersebut, aneh rasanya memegang kulup yang menjuntai itu, pelan pelan pula penis dokter Rico mulai ereksi, semua pembuluh darahnya terisi dan membuat kulupnya perlahan lahan tertarik ke belakang, terlihatlah kepala penis yang merah ranum seperti buah arbei yang menantang ternyata penis dokter Rico juga sekitar 20 cm an panjangnya, saya sangat takjub melihatnya.
Dokter Rico minta pendapat saya mengenai penisnya, saya tidak dapat menjawab karena adikku juga sudah meronta ronta minta dibebaskan, dokter Rico langsung naik meja periksa dan tidur terlentang, penisnya seperti tiang bendera yang tegak tanpa cacat sama sekali, wow indahnya, tanpa tunggu aba aba langsung kudaratkan bibirku pada penisnya dan mulai menghisapnya, awalnya dokter Rico kaget tetapi dia tidak bergeming, tangannya mulai sibuk mengelus penisku, ternyata ada bedanya menghisap penis yang sudah disunat atau yang belum disunat, karena tingkat sentivitas yang belum disunat lebih tinggi sehingga kenikmatan dan erangannya pun menambah semangat, malam itu akhirnya kita habiskan hanya dengan saling menghisap sampai beberapa kali, ternyata dokter Rico adalah pecinta ulung karena banyak variasi yang dia lakukan terhadap diriku dan banyak posisi yang dicoba sampai sampai walau hanya oral kita menikmatinya dengan amat sangat.
Saya suka akan kulup dokter Rico, akhirnya saya sarankan untuk tidak menyunatnya karena kulupnya itulah yang membuatnya tambah macho, saya menjamin bahwa tidak akan ada kotoran yang terselip dibalik kulup tersebut yang nantinya akan jadi penyakit, karena saya berjanji untuk rajin menjilatinya setiap malam, dokter Rico setuju dan mulailah semua pengalaman baru dengan dokter Rico, Jon sudah saya lupakan apalagi sejak ke luar kota dia tidak pernhah mengirim kabar apapun kepada saya.
Dokter Rico ternyata juga punya pasien yang mencintai dia, kadang kadang kita melakukan threesome, dengan pasien tersebut seorang satpam, gila belum pernah saya mengalami pengalaman seperti ini, baik dokter Rico ataupun satpam tersebut sama sama punya penis dan napsu besar jadi saya yang selalu kewalahan mengahadapi mereka berdua, mungkin memang sudah suratan saya untuk menjadi pemuas nafsu orang tetapi semuanya saya jalani dengan senang hati, karena orang hidup memerlukan banyak pengalaman dan pada hubungan ini pertama kali saya merasakan nikmatnya anal sex (akan saya ceritakan nanti ok)

Aku Seorang Perawat 1

Saya adalah seorang perawat yang baru lulus dari Sekolah Perawat Memang jarang perawat laki-laki, tapi apa daya karena modal nggak cukup untuk sekolah kedokteran jadi saya masuk ke Akademi Perawat yang biayanya jauh lebih murah dan lebih cepat dapat bekerja.
Setelah lulus dari sekolah saya ditempatkan di Tangerang di sebuah Klinik Swasta, itu juga karena saya kenal dengan dokter yang punya klinik itu. Jadi pagi-pagi saya kerja di Rumah Sakit Umum dan mulai jam 16.00 sampai 06.00 pagi. Lalu keesokan harinya saya bertugas di klinik swasta tersebut. Hari demi hari saya lewati tanpa kesan yang mendalam, terlalu biasa tanpa tantangan sama sekali. Tapi karena gajinya lumayan untuk nambah nambah uang saku, yah saya bertahan, sampai akhirnya saya jadi orang kepercayaan dokter pemilik klinik tersebut. Sering saya diberikan kesempatan untuk menggantikan praktek-prakteknya terutama kalau hari Sabtu, karena dia mau malam mingguan. Pengalaman praktek pertama menggantikan seorang dokter membuat saya tertantang sekaligus takut dan deg-degan karena takut salah mengobati pasien. Tapi lama-lama saya terbiasa. Pasien yang berobat ke saya setiap Sabtu meningkat dengan pesat. Entah kenapa, mungkin karena saya bertangan dingin atau karena penampilan saya lumayan ok (semua orang bilang saya seperti Ferry Salim, karena kebetulan saya peranakan Jawa, Menado dan Cina). Pasien saya bervariatif dari anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak semua saya tangani dengan penuh dedikasi sampai suatu hari saya bertemu seorang pasien; karyawan sebuah perusahaan sekitar klinik, usia 30 an, dengan penampilan yang amat keren dan rapih serta ganteng, beda dengan pasien-pasien saya yang lainnya. Namanya Joni. Dia mulai sering mengunjungi saya dari mulai berobat sampai hanya untuk ngobrol-ngobrol saja. Dari ceritanya saya ketahui bahwa dia sudah menikah dan dikaruniai 2 orang anak. Tetapi sudah setahun belakangan ini hidup rumah tangganya tidak harmonis, sehingga dia sering stress dan kalau sudah stress maagnya kumat, dia biasa berobat untuk maagnya tersebut.
Pengalaman saya dimulai ketika suatu saat waktu sedang pemeriksaan fisik dia katakan perut bagian bawahnya juga sakit. Wah, pucuk dicinta ulam tiba, dia meminta saya untuk juga memeriksa perut bagian bawahnya. Hati saya deg-degan dan rasanya darah berdesir lebih cepat. Setiap kali memeriksa dia saya selalu mencuri curi pandang pada benjolan di selangkangannya dan berfantasi tentang isinya. Tanpa disuruh dua kali saya langsung melonggarkan celananya sambil berbasa basi minta permisi. Tanggapan dia cukup mengagetkan saya karena dia bilang untuk melepaskan saja celananya agar lebih mudah diperiksa. Wah hati saya senang sekali dan ternyata gundukan dibalik celana tersebut sudah amat menegang dan dia berkata kepada saya, ” Saya tahu kamu selalu ingin melihat gundukan itu khan. Karena saya selalu perhatikan setiap kamu memeriksa badan saya kamu selalu mencuri-curi pandang ke bawah.” Aduh mak, malunya saya pada saat itu. Muka saya memerah, tetapi dia menenangkan saya sambil membimbing tangan saya melepaskan gundukan tersebut dari jepitan celana dalamnya. Wow ternyata dibalik celana dalam tersebut terdapatlah suatu barang yang amat sangat indah, kira-kira 20 cm panjangnya dan sudah amat sangat menegang. Itu adalah penis terbesar yang pernah saya lihat, kemudian dia berkata lagi, “Saya sebetulnya sudah lama suka sama kamu, tetapi saya belum berani mengungkapkannya kepadamu karena sumpah jabatanmu, tetapi setiap pulang dari klinik saya selalu memimpikan kamu.”
Hati saya tersentak haru dan tanpa saya sadari mata saya sedikit basah dan dengan terbata-bata saya katakan bahwa sudah lama saya jatuh cinta padanya dan ingin sekali menikmati barangnya tersebut. Saat itu lah pertama kali saya lihat mukanya berseri seri, dimana sebelumnya selalu muram. Kemudian kami berpelukan dan entah nafsu apa yang menguasai kami pada saat itu dengan nafas yang memburu kami bergumul diatas meja praktek. Sambil perlahan-lahan dia membuka baju dan celanaku, penisku yang memang sudah meminta dibebaskan sedari tadi langung saja mencelat keluar begitu dia membuka ritleting celanaku. Punyaku memang tidak terlalu panjang hanya sekitar 15 cm tapi cukup berisi. Dengan nafsunya dia merebut penisku dan dengan gerakan yang terburu-buru dia mengocok batang kemaluanku. Aduh rasa perih bercampur dengan nikmat yang tidak dapat saya jelaskan.
Saya juga tidak mau kalah langung saya saya kulum batang kemaluannya, mulai dari buah zakarnya yang terasa hangat dan menggelitik karena bulu bulu halus sekitarnya trus naik ke atas ke batangnya yang berdiri dengan gagahnya sampai ke pusat kenikmatan di daerah frenulum penisnya dan cup sampai ke kepala penisnya ku hisap kuat-kuat seolah-olah tak ingin kulepaskan. Joni menggelinjang keenakkan sambil mengerang ngerang. Setelah itu saya mengocok naik turun kejantanannya dengan mulut saya ini. Wah ternyata penis panjang itu nikmat sekali karena kadang-kadang menohok belakang tenggorokanku dan memberi sensasi lain. Pada saat itu saya tidak berpikir untuk mual ataupun muntah tetapi saya nikmati semua momen dari nafsu yang sudah terpendam selama ini. Joni juga tidak mau kalah dia merubah posisinya sehingga kita menjadi 69 dan dia mulai mencumbu penisku bertubi tubi, sehingga ingin keluar rasanya. Tapi ternyata Joni ahli sekali menahan spermaku untuk tidak tumpah. Dia menahan pangkal penisku erat erat sambil terus menghisap dan mengocok penisku dengan mulutnya. Wow sensasi yang luar biasa. Setelah kita menikmati buah terlarang masing masing, Joni berinisiatif untuk merubah posisi sehingga kita saling berhadapan dan dia menghunjamkan ciuman yang amat dahsyat ke bibirku. Saya begitu terpana merasakan nikmatnya dicium seorang pejantan (ini adalah pengalaman pertama saya). Joni mulai membelai seluruh bagian tubuhku, timbul rasa geli dan nikmat seperti kesetrum listrik seluruh tubuhku. Tidak mau kalah saya juga menikmati semua lekuk lekuk otot badan Joni. Selama ini jika saya memeriksanya hanya meraba bagian kulitnya saja sudah merinding rasa bulu kuduk ini, dan sekarang saya dapat meremas remas seluruh bagian tubuhnya bukan hanya mengelusnya. Joni pintar mengucapkan kata kata manis dan merangsang, sampai saya amat sangat terangsang dan demikian pula dengannya. Ketika saya katakan ingin keluar, dengan sigapnya dia berbalik untuk menghisap penisku yang sudah menjerit minta keluar ini, bibir dan lidahnya yang hangat serta kenyotannya yang nikmat membuat benteng saya bobol. Keluarlah semua nutrisi rasa nano nano itu ke dalam mulutnya yang langsung dilahapnya sampai tetes terakhir. Aduh rasanya seperti seluruh sum sum tulangku tersedot habis! Demikian pula sebaliknya ketika sudah selesai dengan saya Joni meminta saya untuk meminum juicenya dan karena ingin sekali tahu rasanya, saya mengiyakan dan ternyata memang rasanya nano nano, manis manis asin dan hangat. Saya hisap sampai habis seluruh juice yang disajikan langsung dari pabriknya itu.
Setelah selesai kami duduk berdua lemas di pinggir meja periksa dan saling memberikan ciuman mesra. Malam itu Joni tidak pulang karena kebetulan istrinya ke Jawa dan dia benar benar seorang gentleman yang menemani, melindungi dan mengisi malam malam sepiku. Malam itu kita mengulangi semua ritual diatas meja periksa tersebut sampai tiga kali tetapi dilakukan di kamar tidur saya. Dan ketika matahari hampir terbit dia mengajak saya untuk mandi bareng, malam itu saya benar benar bernafsu sehingga setelah main 3 kali dengannya masih saja ada sisa tenaga untuk memandikannya. Pengalaman di kamar mandi ternyata lebih mendebarkan dibawah siraman shower sambil saling menyabuni dan menyiumi penuh nafsu penis kita masing masing berdiri lagi dan seperti tidak ada cape capenya minta untuk beraksi lagi. Pada saat itulah Joni menawarkan untuk memerawani saya. Mula-mula saya takut karena kata orang sakit rasanya ketika pertama kali disodomi. Tapi dia meyakinkan saya karena ada sabun tidak usah takut. Akhirnya karena rasa cinta dan keingin tahuan, saya mengiyakan dan dengan pelan pelan Joni membimbing penisnya untuk memasuki lubang kenikamtanku yang measih kencang itu. Pelan-pelan, jleb! Aduh sakitnya mak. Tapi Joni tidak mau mundur. Malah dia menjadi-jadi setelah mendengar teriakan kecilku. Jleb, bles bles, masuklah seluruh 20 cm batang kenikmatan Joni kedalam lubang keperawananku. Nyeri sekali rasanya, hampir menangis saya dibuatnya. Tetapi Joni memelukku dan menciumiku sambil menenangkan saya. Setelah saya agak tenang dia mulai melakukan manuvernya keluar masuk. Nyeri yang terasa lama-lama hilang menjadi seperti rasa gatal gatal perih dan akhirnya saya mulai menikmatinya. Saya juga mulai mengocok batangku sendiri mengikuti ritme Joni. Wow kenikmatan yang tiada tara, air terus mengalir menyirami tubuh kita berdua. Joni mengerang-ngerang kenikmatan ditambah suara suara benturan dan gesekan pantatku dengan daerah pubisnya sehingga menjadikan sebuah irama yang amat membangkitkan nafsu birahi. Saya merasa seperti di nirwana. Saking nikmatnya saya orgasme duluan dari Joni sehingga lubangku menjepit batangnya sedemikian keras sampai sampai Joni menjerit kenikmatan. Lima menit kemudian Joni akhirnya tidak tahan dan dia muncratkan semua spermanya kedalam anusku. Rasa hangat langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Joni menciumi saya bertubi-tubi dan meyatakan cinta yang mendalam dan berjanji akan membahagiakan saya. Sekarang saya telah diberi kepercayaan penuh untuk mengelola klinik tersebut dan sesuai janji Joni, dia tetap bersama saya. Sekarang Joni sudah menjadi partner saya baik untuk mengurus keuangan atau partner dalam bercinta. Klinik saya telah berkembang menjadi rumah sakit kecil dimana juga ada rawat inapnya dan kebanyakan perawat yang saya ambil adalah perawat pria yang telah melewati seleksi yang amat ketat oleh saya dan Joni …Anda pasti tahu tes tes apa yang kami terapkan dalam menyeleksi mereka khan? Sekarang saya tidak pernah kesepian karena masih banyak petualangan petualangan yang saya alami kemudian baik dengan atau tanpa Joni. Sekian.

Pondokku Yang Indah

Satu
Usaha keras Yuda selama ini akhirnya membuahkan hasil juga. Dengan wajah sumringah ia menunjukkan namanya yang mejeng diantara nama-nama lain yang dinyatakan lulus SPMB pada kedua orang tuanya. Di Fakultas Teknik Elektro salah satu universitas negeri favorit di Depok. “Yuda lulus ma, pa,” katanya pada kedua orang tuanya. “Anak mama memang pinter deh,” sahut sang mama sambil memberikan cium sayang di pipi anak bungsu kesayangannya itu. “Papa tekor nih ma,” kata sang papa. “Kenapa pa?” tanya sang mama. “Papa kan janji akan membelikan sepeda motor baru buat Yuda kalo lulus SPMB ma,” jawab sang papa. Yuda senyum-senyum kegirangan mendengar kata-kata sang papa. Sepeda motor baru yang diidamkannya selama ini menggantikan sepeda motor lamanya akhirnya jadi juga dihadiahkan oleh sang papa. Dengan kondisi ekonomi keluarga mereka yang jauh diatas rata-rata, Papa Yuda adalah salah seorang pengusaha perantauan yang sukses di Makassar, sebenarnya bisa saja sang papa membelikan sebuah mobil untuk Yuda. Namun cowok ganteng satu ini memang belum pernah punya keinginan untuk memiliki mobil sendiri. Saat ditanyakan oleh sang mama apa alasannya tidak mau memiliki mobil sendiri dengan enteng Yuda menjawab, “Lebih enak naik sepeda motor ma. Kalo membonceng cewek, lebih mesra.” Sang mama hanya bisa mencubit sayang pipi anak bungsunya ini. Sambil ngeledek, “Anak bungsu mama ini ternyata genit ya. Kecil-kecil udah playboy.” Yuda hanya nyengir lucu mendengar ledekan mamanya itu. Yuda memang anak yang unik. Diantara dua saudaranya yang lain dia memang lebih sederhana dalam penampilan. Mas Yudi dan Mbak Yenny, masing-masing kakak pertama dan keduanya, dua-duanya mengendarai mobil dalam keseharian mereka. Sejak masih tinggal di Makassar dulu dan juga saat ini, dimana keduanya sedang menimba ilmu, kuliah di Pulau Jawa. Mas Yudi kuliah di PTN Teknik yang ada di Bandung, sedangkan Mbak Yenny kuliah di PTN yang ada di Yogyakarta, tak jauh dari rumah kakek dan nenek keluarga Yuda. Meskipun berasal dari keluarga mampu, Yuda dan kakak-kakaknya memang serius dalam hal pelajaran. Karena itu wajar saja mereka semua dapat lulus di PTN favorit yang ada di Pulau Jawa. “Kapan dong pa, Yuda dibelikan sepeda motor barunya?” tanya Yuda menagih janji sang papa. “Nanti aja di Jakarta ya Yud. Supaya gak repot-repot membawanya dari sini,” “Oke deh pa. Makasih ya papa dan mama tersayang,” jawab Yuda sambil mencium pipi kedua orang tuanya bergantian. Setelah itu cowok ganteng bertubuh tinggi langsing atletis itu siap-siap ngacir meninggalkan kedua orang tuanya yang masih sibuk membolak-balik surat kabar berisi pengumuman SPMB itu. “Mau kemana sayang?” tanya sang mama. “Ke rumah Reny ma. Mau pamit sekaligus mutusin dia. Soalnya repot kan pacaran jarak jauh. Lagian di Jakarta banyak cewek-cewek manis ma, kasihan kalau Yuda cuekin mereka. Kalo disini kan Reny masih bisa ketemu cowok lain di sekolah, dia kan baru naik kelas 2,” jawab Yuda enteng. Mama dan papanya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari anak bungsunya yang ternyata berbakat playboy itu. Kedua orang tua Yuda memang tak terlalu mempermasalahkan “bakat” sang anak yang suka gonta-ganti pacar itu. Karena meskipun Yuda begitu, dia tak pernah melakukan hal-hal yang dapat merusak masa depannya. Buktinya sekolahnya tetap lancar dan cewek-cewek yang pernah dipacarinya pun masih tetap berhubungan baik dengannya. Malah masih sering berkunjung ke rumah Yuda yang terletak di salah satu kompleks perumahan mewah di Kota Makassar. Reny yang tadi disebut Yuda adalah pacarnya yang terakhir. Teman satu sekolahnya yang waktu dipacarinya masih duduk di kelas 1. Yuda memang salah satu idola cewek-cewek di sekolahnya. Gimana gak jadi idola. Anaknya pinter di kelas, penampilan fisik oke, olah raga jago, kaya tapi sederhana dan supel dalam bergaul. Oleh karena itu setiap orang yang mengenal Yuda sangat senang bergaul dengannya. Prestasinya juga membanggakan. Yuda pernah menjadi utusan propinsinya untuk menjadi anggota Paskribaka di Istana Merdeka. Selain itu, saat ia menjadi kapten kesebelasan sepak bola sekolahnya Yuda menghantarkan kesebelasannya menjadi juara pertama dalam Kompetisi Sepak Bola antar pelajar se-propinsi. Cowok yang sempurna? Kayaknya iya. Bukankah itu yang anda sukai saat membaca cerita-cerita seperti ini kan? Hehe.
Dua
Yuda disambut oleh Mas Yudi di Bandara Internasional Sukarno-Hatta Cengkareng. Sesuai dengan perintah kedua orang tuanya melalui telepon, kakak pertamanya itu ditugaskan untuk membantu Yuda dalam mengurus proses penerimaan mahasiswa baru di kampusnya. Kebetulan Yudi berada di Bandung, maka menurut kedua orang tua mereka cukuplah kakak tertua Yuda itu yang membantu, mama dan papa Yuda tak perlu harus ke Jakarta untuk mengurusi keperluan Yuda. “Bawa oleh-oleh apa Yud buat gue?” sambut Mas Yudi sambil menjawil telinga adik bungsunya itu. Wajahnya tersenyum lucu. “Dasar deh Mas Yudi, bukannya nanya kabar mama sama papa, malah nanya oleh-oleh,” jawab Yuda pura-pura cemberut. Sumpah, meski cemberut wajah Yuda tetap aja ganteng lho. Selanjutnya kedua kakak beradik yang ganteng-ganteng itu berpelukan hangat melepas rindu. Setelah acara melepas rindu usai, Mas Yudi mengajak Yuda untuk meninggalkan bandara. “Kita istirahat dulu hari ini, besok berangkat ke Depok cari kos buat kamu. Setelah itu mendaftar ulang ke kampus jelek kamu itu,” kata Mas Yuda. “Enak aja. Kampus Mas Yudi yang jelek. Wek,” jawab Yuda sambil meleltkan lidahnya. Sembarangan aja Mas Yudi ini bilang kampus Yuda jelek. Itu kan kampus paling favorit se-Indonesia. Dengan mengendarai mobil sedan milik Mas Yudi, kedua kakak beradik itu melaju di jalan raya Jakarta menuju hotel di kawasan Senayan untuk beristirahat.
Tiga
Fakultas Teknik Elektro sudah ramai saat Yuda dan Mas Yudi tiba. Setelah memarkirkan mobilnya, Mas Yudi mengajak Yuda melihat papan pengumuman yang berisi tata cara pendaftaran ulang bagi mahasiswa baru. Papan pengumuman itu sudah ramai di rubungi oleh mahasiswa baru. Untunglah kedua kakak beradik itu memiliki ukuran tinggi badan diatas rata-rata, hampir 180 cm, sehingga mereka tak perlu kerepotan untuk melihat pengumuman. “Oke deh. Kamu kan udah tau apa yang harus dibawa untuk daftar ulang. Sekarang kita cari kos dulu buat kamu. Besok kamu sudah bisa daftar ulang kemari,” kata Mas Yudi. “Oke Mas,” jawab Yuda. “Mas, bingung juga nih cari kos disini. Kita tanya orang-orang aja dulu,” ajak Mas Yudi disambut anggukan Yuda. “Liat di papan pengumuman yang deket gedung itu deh mas. Disana banyak tuh selebaran informasi tempat kos,” terang seorang cewek manis saat mereka bertanya-tanya tentang lokasi tempat kos. “Boleh kenalan kan, nama gue…,” kata Yuda pada cewek itu. Cepat Mas Yudi menarik tangan adik bungsunya yang mulai muncul tabiat playboynya itu. Urusan cari kos belum beres malah sibuk kenalan nih anak. Cewek itu hanya tersenyum malu-malu. Benar saja di papan pengumuman itu tertempel banyak selebaran informasi kos. Satu per satu pengumuman itu dibaca oleh Mas Yudi. Akhirnya matanya tertumbuk pada sebuah pengumuman yang cukup unik isinya. “Kalo elo ngerasa ganteng, enggak sombong, en berasal dari keluarga baek-baek, buruan dateng deh ke kos-kosan . Fasilitas lengkap dan dijamin bebas dari narkoba en pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswi. Masih tersisa dua kamar kosong. Buruannnn sebelon keabisan. Untuk informasi, hubungi Ivan di nomor HP : 081XXXXXXX,” (Nomor handphone sengaja disembunyikan untuk menghindari iklan dan aksi coba-coba yang mungkin anda lakukan dengan menghubungi nomor tersebut. Kalau ternyata nomor yang ditulis beneran punya gay atau biseks gak masalah. Kalau punya lesbian gimana? Kan elo rugi pulsa. Hehehe). Mas Yudi segera menghubungi nomor hand phone itu. “Masih sisa satu kamar kosong lagi ya? Hmm.. satu setengah juta setahun. Mmm belum termasuk bayar tagihan listrik dan telepon? Ada ac ya? Boleh punya televisi dan komputer di kamar? Ada garasi buat kendaraannya ya? Oke deh kita coba liat ke situ. Alamatnya dimana? Hmm disitu ya. Oke, oke. Kami kesitu ya. Nama saya Yudi. Makasih Van. Klik,” “Gimana mas?” tanya Yuda. “Kayaknya lumayan. Ayo kita liat ke situ sekarang,” “Ayo,”
Empat
Mencari kos-kosan ternyata tak sulit. Lokasinya tak terlalu jauh dari jalan raya Depok. Kos-kosan itu berupa rumah yang terawat bersih dan rapi. Dipintu rumah terdapat tulisan . Di garasi terdapat dua buah mobil sedan dan satu sepeda motor. Sepertinya kos-kosan itu diperuntukkan untuk kalangan menengah. “Males ah disini mas. Kayaknya mewah banget,” kata Yuda saat melihat kos-kosan itu. “Kamu ada-ada aja deh. Entar papa dan mama marah ke Mas Yudi, kalo kamu mas masukin kos-kosan yang kumuh. Ayo turun kita liat ke dalam,” Tak lama setelah memencet bel, Mas Yudi dan Yuda disambut oleh seorang cowok ganteng bercelana pendek yang membukakan pintu. “Yudi ya,” kata cowok itu yakin. “Iya. Ivan ya,” “Yap betul. Silakan masuk mas,” jawabnya. Ruangan dalam kos itu bersih dan terawat baik. Ruang tengah sepertinya diperuntukkan untuk tempat ngumpul-ngumpul, ada tiga orang cowok, yang juga ganteng-ganteng sedang duduk diatas karpet menonton televisi yang sedang menayangkan acara Buser. Ketiga cowok ganteng itu mengangguk ramah pada Mas Yudi dan Yuda. Sepertinya ini kos anak baik-baik, batin Mas Yudi. Ivan mengajak Mas Yudi dan Yuda duduk di kursi tamu. “Siapa yang mau kos nih? Dua-duanya?” tanya Ivan. “Enggak, adik saya ini aja. Yuda namanya. Kalo saya kuliah di Bandung,” “O gitu. Mau liat kamarnya sekarang?” “Yang punya kos kamu Van?” “Bukan Mas. Kita berempat yang ngekos disini. Yang punya kos tinggal di Tangerang Mas. Rumah ini dikontrak per tahun. Awalnya kami ada lima orang yang ngontrak bareng-bareng. Karena yang dua udah lulus, jadi kita perlu dua orang lagi untuk ngisi kamar yang kosong mas. Kalo yang ngontrak lima orang kan biaya kontrakannya per orang jadi gak terlalu berat mas,” “Hmmm… Terus kok kamarnya tinggal satu. Katanya butuh dua,” tanya Mas Yudi lagi. “Kemaren udah ada satu temen yang baru masuk mas. Yang pake kaos biru itu,” tunjuk Ivan ke arah seorang cowok ganteng berkulit hitam manis. Kayaknya cowok itu berasal dari daerah Indonesia timur. “O gitu ya. Kita boleh liat kamarnya?” “Boleh mas,” Ivan kemudian menunjukkan kepada Mas Yudi dan Yuda kamar yang masih belum ada penghuninya itu. Didalam kamar itu sudah tersedia tempat tidur spring bed besar. Meja belajar. Dan meja kosong yang bisa digunakan untuk meletakkan televisi. Kamarnya cukup luas. Mas Yudi langsung tertarik. Sedangkan Yuda terlihat ogah-ogahan. Cowok ganteng itu sebenarnya tak mengharapkan tempat kos yang lumayan mewah seperti itu. Namun untuk menolak Mas Yudi dia merasa tak enak. Dibenaknya terfikir untuk mencari kos lain tahun depan, setelah ia mengetahui situasi di sekitar kampusnya. Tak berlama-lama Mas Yudi segera membayar uang kos itu pada Ivan. Barang-barang Yuda yang ada di mobil segera diangkat ke dalam kamar. Cowok-cowok penghuni kos itu membantu mengangkati barang-barang Yuda ke kamar. Mas Yudi semakin senang dan yakin kos itu cocok buat Yuda karena melihat keramahan penghuni kos itu.
Lima
Malam itu Mas Yudi menginap di kos Yuda, memastikan bahwa tempat kos itu memang seperti apa yang dibayangkannya. Satu per satu penghuni kos berkenalan pada Mas Yudi dan Yuda. Ivan berasal dari Aceh. Kulitnya putih dan tidak terlalu tinggi. Mungkin tingginya sekitar 168 cm. Tubuhnya langsing berotot. Katanya dia turunan Arab, pantas saja tubuhnya rame dengan bulu-bulu halus. Pada wajahnya terlihat jelas bekas cukuran. Saat ini ia duduk di Semester lima Fakultas Ekonomi. Ali, asal Magelang. Sawo matang, lebih tinggi dari Ivan dan langsing. Hidungnya mancung bagus mirip Keanu Reeves. Anaknya suka tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. Sama dengan Ivan, Ali juga kuliah di semester lima Fakultas Ekonomi. Darwin, asal Palembang. Kulitnya putih dan matanya sipit mirip turunan Cina. Tubuhnya paling kekar diantara mereka. Kekerannya itu dapat terlihat jelas karena Darwin suka memakai kaos yang berukuran ngepas pada tubuhnya. Sepertinya anak satu ini rajin olah tubuh. Tubuhnya kokoh dan tingginya sama dengan Yuda. Saat ini ia masih duduk di semester tiga Fakultas Teknik Arsitektur. Stefanus, asal Ambon. Kulitnya hitam manis. Wajahnya ganteng sekali. Bulu matanya lentik. Dia ini yang penghuni baru. Darwin yang mengajaknya pindah ke kos ini. Mereka memang sama-sama kuliah di semester tiga Fakultas Teknik Arsitektur. Meskipun tidak sekekar Darwin, namun Stefanus punya tubuh yang oke juga. Kesimpulan Mas Yudi setelah menginap malam itu adalah teman-teman kos Yuda baik-baik. Tak ada yang menunjukkan prilaku bermasalah. Tak ada narkoba disitu, merokok saja mereka juga tidak. Sex bebas juga sepertinya tidak, meskipun cowok-cowok itu sering menerima tamu cewek-cewek cantik, maklum aja deh soalnya mereka kan ganteng-ganteng wajar banyak cewek yang suka, namun mereka menerima tamu-tamu cewek itu hanya terbatas hingga teras depan saja. Tak ada satupun tamu cewek mereka yang diajak duduk di ruang tamu, apalagi sampai ngamar. Akhirnya Mas Yudi merasa tak perlu berlama-lama menemani Yuda di kos barunya itu. Keramahan penghuni kos memang membuat Yuda dan Mas Yudi dapat cepat bergaul dengan mereka. Karena itu Mas Yudi tak merasa kuatir Yuda kesulitan bergaul dengan mereka. Apalagi Yuda dan juga Mas Yudi punya bakat untuk cepat bergaul dengan orang lain. Meskipun Yuda kurang sreg dengan kos itu, ia bisa menyembunyikan hal itu sehingga tidak mengganggu komunikasinya dengan penghuni kos yang lain. Setelah membereskan segala urusan Yuda akhirnya Mas Yudi memutuskan untuk kembali ke Bandung keesokan sorenya. Sebelumnya ia sempat membawa Yuda ke Glodok dan membelikan adik bungsunya itu televisi, radio tape dan seperangkat komputer. “Sepeda motor gue gimana dong Mas?” tanya Yuda pada kakak tertuanya itu. Papanya sudah mentransferkan untuknya uang pembelian sepeda motor itu. “Entar sepeda motor kamu beli sendiri deh. Kamu bisa ajak temen-temen kamu disini untuk nolongin nyarinya, mereka kan udah paham Jakarta. Lagian kamu kan udah cocok bergaul sama mereka,” tanggap Mas Yudi. Dengan diantarkan sampai ke pintu gerbang seluruh penghuni , Mas Yudi berangkat ke Bandung sendirian dengan mengendarai mobil sedannya. Enam
Perkuliahan baru akan mulai minggu depan. Karenanya kegiatan penghuni kos lebih banyak diisi dengan hanya menonton acara televisi di rumah. Seluruh tayangan dari berbagai stasiun televisi ditonton oleh cowok-cowok itu. Saking seringnya menonton acra televisi, Yuda sampai hapal jadual acara di televisi yang selama ini tak diketahuinya. Waktu di Makassar cowok ganteng ini memang sangat jarang menonton acara televisi. Lebih sering kegiatannya diisi dengan belajar atau bawa ceweknya jalan-jalan. Penilaian Yuda pada cowok-cowok, teman-teman barunya di kos itu sama dengan Mas Yudi. Baik-baik dan tidak melakukan hal-hal aneh. VCD player saja tak ada disitu. Sepertinya cowok-cowok itu tak pernah nyetel film deh. Sesekali Ivan dan Darwin yang punya mobil, mengajak mereka jalan-jalan malam. Nongkrong sambil makan malam di luar, rame-rame. Lumayan juga buat menghilangkan kebosanan Yuda ngedekem seharian di kos. Namun dua hari setelah kepergian Mas Yudi, Yuda mulai melihat keanehan pada diri teman-teman kosnya itu. Yuda jadi bingung dan penilaiannya mulai berubah. Tempat kos itu tidak memiliki kamar mandi di dalam kamar tidur. Kamar mandi terdapat di bagian belakang rumah, dekat dapur. Jumlahnya dua. Satu kamar mandi kecil untuk buang hajat dan satu lagi kamar mandi yang berukuran besar, ukurannya tiga kali tiga meter, biasanya digunakan untuk mandi. Berkaitan dengan kamar mandi inilah keanehan yang dirasakan Yuda pada teman-temannya itu. Saat akan pergi ke kamar mandi, cowok-cowok itu dengan cuek melenggang dari dalam kamar tidurnya hanya menggenakan cawat doang. Tubuh-tubuh atletis mereka santai saja melintas melalui ruang tengah tempat anak-anak yang lain nonton televisi. Yuda benar-benar kaget saat pertama kali melihat kebiasaan mereka itu. Meskipun waktu di Makassar dulu ia sering melihat cowok hanya menggenakan cawat doang, namun itu hanya ada di kolam renang. Kalau melihat cowok berkancut di rumah Yuda belum pernah. Dan ia merasa janggal dengan itu. Cowok yang pertama kali dilihatnya seperti itu adalah Darwin. Dengan santai ia melintas memamerkan tubuh kekar berototnya yang hanya ditutupi celana dalam doang itu. Malah di samping televisi dengan menumpukan tangannya pada dinding, ia berhenti cukup lama menayakan acara apa yang sedang ditonton. Bulu-bulu halus ketiaknya yang lebat itu dipamerkannya pada para pirsawan. “Ngapain Win?” tanya Yuda waktu itu. Ia merasa risih melihat Darwin berpose santai seperti itu. “Mau mandi Yud,” jawab Darwin cuek. “Kok,” “Santai aja. Cowok semua juga kan,” jawabnya enteng. Yang laen hanya tertawa-tawa. Malah Ali nyeletuk santai, “Gede juga Win,” katanya. Setelah Darwin beres mandi dan keluar hanya dengan handuk doang. Giliran Ivan yang dengan santai melepaskan seluruh busananya di depan anak-anak. Diapun kemudian berjalan santai menuju kamar mandi dengan celana dalam mungilnya. Yuda tambah bingung. Pikirnya itu hanya kebiasaan Darwin seorang. Akhirnya satu per satu teman-temannya berbuat seperti itu. Yuda hanya bisa melotot bingung melihat mereka. Sejak hari itu, akhirnya Yuda mulai terbiasa dengan kebiasaan mandi penghuni kos . Malah kinipun dia juga ikutan cuek aja pake cawat doang menuju kamar mandi. Hanya yang masih belum dapat dimaklumi oleh Yuda adalah kesukaan teman-teman barunya itu yang lain. Yaitu mandi bareng-bareng di kamar mandi besar. Yuda sampai melongo di depan pintu kamar mandi besar yang tidak mereka tutup pintunya itu saat melihat keempat teman barunya sedang asik mandi bareng, berebut air dibawah shower sambil tertawa-tawa dan membanding-bandingkan ukuran kontol masing-masing. Tentu saja Ivan yang turunan Arab menjadi jawara dalam acara itu. Kontolnya yang masih tidur aja udah segede terong plus dihiasi jembut halus lebat keriting itu, dipamerkannya pada teman-temannya. “Kontol begini nih yang bisa bikin cewek gak bisa nafas,” katanya sambil tertawa bangga. Yuda baru sadar kalau sedang melongo melihat mereka saat tiba-tiba Stefanus, si Ambon memanggilnya untuk bergabung bersama mereka. Serta merta ditolaknya ajakan itu, segera Yuda meninggalkan mereka menuju ruang tengah pura-pura menonton televisi. Namun fikirannya melayang pada kelakuan teman-temannya itu juga pada kontol keempat teman-temannya itu yang punya ukuran lebih besar dari rata-rata, tak jauh berbeda dari kontolnya sendiri.
Tujuh
Hari itu malam minggu. Keempat teman barunya semuanya ngilang dari kos. Kata mereka ngapel ke tempat cewek masing-masing. Ditinggal sendiri, Yuda kemudian menelpon Reny ke Makassar. Dari pada belum punya cewek di Jakarta, mendingan manfaatin yang ada aja dulu, batinnya. Bosan menelpon akhirnya Yuda pergi tidur ke kamarnya. Hampir pukul sebelas malam, tiba-tiba ia dibangunkan oleh Ali. Karena lupa mengunci pintu kamarnya, Ali bisa masuk ke kamar Yuda. “Kok udah tidur sih. Malam minggu nih. Ayo ke ruang tengah. Anak-anak bawa film bagus tuh buat di tonton,” ajak Fajar. Ogah-ogahan Yuda mengikuti langkah Fajar. Di ruang tengah dilihatnya teman-temannya sudah ngumpul di depan layar televisi. Yuda melotot melihat apa yang mereka tonton. Ternyata teman-temannya itu sedang nonton film porno. Di layar televisi terpampang adegan seorang cewek cantok sedang dientot oleh dua cowok berkontol besar sekaligus. Satu melalui memek dan satu melalui lobang pantat. Di atas karpet di dekat teman-temannya itu berserakan kemasan kepingan vcd porno berbagai judul dengan jumlah yang tak sedikit. Setidaknya ada dua puluh kemasan. “Dapet vcd player dari mana nih?” tanya Yuda bingung. “Anak-anak kan pada punya televisi dan vcd player masing-masing di kamar Yud. Cuman kan lebih enak nonton bareng-bareng di ruang tengah daripada nonton sendiri di kamar. Jadi dibawa kemari deh playernya Darwin,” jawab Ivan. “Dapet film darimana? Sampe banyak begini lagi” tanya Yuda lagi. Satu persatu judul yang tertara pada kemasan vcd itu dibacanya. Ngelihat dari gambarnya kayaknya vcdnya oke-oke deh. Dan sepertinya temanya seragam. Orgy. Dengan jumlah cowok lebih banyak daripada ceweknya. “Gimana sih Yud. Masak cowok gak punya film ginian. Kita punya semua. Elo ada gak?” ini Ali yang ngomong. “Mana ada. Tinggal di Makassar semua dong. Masak gue bawa kemari,” jawab Yuda. “Kalo elo mau nyari, entar kita ajak ke Glodok deh. Disana banyak,” sambung Darwin. Eh ternyata Darwin pake kaca mata. “Kalo nonton ginian harus pake kaca mata Yud. Biar jelas kelihatannya. Gue kan udah minus setengah,” jawab Darwin menanggapi komentar Yuda karena baru mengetahui kalo cowok ganteng yang punya tubuh kekar atletis itu ternyata memakai kaca mata. Tampang Darwin jadi kayak Clark Kent deh. Ganteng, atletis, dan berkaca mata. Rambut pendeknya yang model belah samping itu membuatnya semakin mirip dengan Clark Kent. Yuda pun kemudian ikut larut pada tontonan porno itu. Anak satu ini emang udah punya bakat doyan nonton gituan sejak dari SLTP. Dapat tontonan bagus kayak begini tentu saja tak dilewatkannya. Volume suara televisi yang cukup besar, memperdengarkan erangan dan desahan aktor dan aktris porno yang sedang ngentot itu, tentu saja menambah cepat bangkitnya birahi penonton. Yuda saja berulangkali membetulkan posisi duduknya. Kontolnya yang ngaceng keras terasa mendesak di selangkangannya.
Delapan
Usai film pertama, mereka langsung nyambung lagi dengan film berikutnya. Film kedua ini bercerita tentang dua orang cewek yang dikerjai delapan cowok di sebuah bengkel mobil. Kedua cewek itu datang ke bengkel dengan tujuan untuk mereparasi mobil yang mereka bawa. Ternyata disana mereka harus melayani nafsu binal kedelapan montir ganteng dan kekar-kekar itu. Yuda merasa sangat terangsang melihat cewek-cewek itu dientot rame-rame oleh kedelapan cowok itu. Kontolnya yang sudah mengeras sangat ingin untuk segera mengeluarkan sperma. Biasanya sambil nonton film porno di kamarnya di Makassar, Yuda ngocok. Tapi kali ini tentu saja tak mungkin. Untuk pura-pura ke kamar atau kamar mandi buat ngocok tentu saja dia merasa malu. Dilihatnya keempat teman barunya itu santai-santai saja melihat adegan mesum di layar televisi. Yuda memang belum pernah mengentot dengan siapapun. Paling-paling untuk menumpahkan spermanya dilakukannya dengan ngocok di kamarnya atau di kamar mandi. “Duh jadi pengen ngocok nih,” tiba-tiba Stefanus nyeletuk. “Gue juga,” sambung Ivan. “Ke kamar dulu ah. Mau ngocok,” kata Stefanus. Teman-temannya tertawa. “Ngapain di kamar sih. Disini aja. Kok mesti malu sih. Cowok semua kan. Sama-sama punya kontol,” kata Darwin. “Iya juga ya. Ya udah deh disini aja,” Stefanus tanpa malu-malu langsung mengeluarkan kontolnya dari balik celana pendeknya. Mata Yuda langsung melotot melihat kontol Stefanus yang hitam dan besar seperti Pisang Ambon itu. Dengan santai si Ambon menggenggam batang itu kemudian mengocoknya, sambil matanya tetap menatap layar televisi. Ivan kemudian mendekati Stefanus. Duduk disebelah cowok itu, iapun kemudian mulai mengocok batang kontolnya sendiri. “Gak ikutan Yud?” tanya Ali. Yuda hanya menggeleng. Ia benar-benar tak percaya melihat teman-teman barunya yang sepertinya baik-baik itu ternyata tak malu-malu ngocok di depan orang. Tiba-tiba Darwin mendekatinya. Tubuh kekar cowok ganteng itu sangat rapat pada tubuh Yuda. “Kok malu-malu sih Yud. Keluarin aja. Atau perlu gue bantu,” katanya. Tangan Darwin langsung meremas tonjolan kontol Yuda yang tercetak membesar di selangkangannya. Di dekatnya, dilihatnya Ali juga sudah mulai mengocok kontolnya sendiri. Bibirnya tersenyum pada Yuda. “Ayo Yud,” katanya kemudian. Yuda berusaha menyingkirkan tangan Darwin dari selangkangannya. Namun cowok berotot itu tak memperdulikan. Dengan paksa ditariknya celana pendek Yuda sehingga kontol besar milik cowok ganteng itu menyembul ke luar. “Win, jangan,” kata Yuda. Tangannya menepis tangan Darwin yang mulai menggenggam kontolnya yang besar dan kemerahan itu. Namun Darwin tak peduli. Dengan lembut diremasnya kontol Yuda. “Jangan menolak. Entar gue patahin nih kontol,” jawab Darwin dingin. Yuda mengkeret juga mendengar ancaman Darwin. Meskipun tak rela, akhirnya Yuda membiarkan Darwin memainkan kontolnya. Tangan Darwin yang menggenggam batang kontolnya kemudian bergerak naik turun mengocok batang kontol milik cowok Makassar itu. “Kontol lo bagus ya Yud, besar dan merah. Merahnya kayak kontol gue deh. Liat nih,” tangan Darwin yang satu lagi langsung mengeluarkan kontolnya sendiri. Kontol yang besar dengan kepalanya yang mirip jamur, besar dan merah. Batangnya gemuk dan berurat. Yuda terperangah melihatnya. Ia sudah pernah melihat kontol Darwin saat masih tidur, rupanya kalau sudah bangun kontol Darwin benar-benar dahsyat bentuknya. Yuda kemudian melirik ke arah Ivan dan Stefanus. Mata Yuda terbelalak melihat apa yang dilakukan oleh kedua cowok ganteng itu. Didepan matanya dilihatnya Stefanus sedang asik menjilat-jilat kepala kontol Ivan yang besar. Sementara Ivan merem melek sambil terus mengocok kontol Stefanus. Ivan tak menyangka Stefanus mau melakukan itu pada Ivan. “Kenapa Yud? Mau digituin juga?” tanya Darwin. Yuda menggeleng lemah. “Enak kok. Coba aja. Ali sini lo. Jilat nih pala kontol Yuda,” perintah Darwin pada Ali. Si ganteng Ali kemudian mendekati Yuda. Dengan tersenyum dipandanginya wajah Yuda. Sesaat kemudian kepalanya sudah menyusup ke selangkangan Yuda. Lidahnya tanpa permisi segera menjilati celah lobang kencing Yuda yang sudah basah oleh precum. “Ohh..,” desah Yuda tanpa sadar. Kepala kontolnya terasa hangat dan basah oleh lidah Ali. “Enak kan Yud?” bisik Darwin di telinganya. Kurang ajarnya lagi, Darwin menggelitik daun telinga Yuda dengan ujung lidahnya. Kontan saja cowok yang baru lulus SMU itu menggelinjang. Yuda pengen melawan, dan melepaskan dirinya dari kedua cowok itu. Namun saat ini ia benar-benar terangsang hebat. Tak pernah ia merasakan lidahnya dijilati seperti itu sebelumnya. Ditambah lagi dengan kocokan tangan Darwin pada batang kontolnya dan jilatan-jilatan Darwin pada telinganya. Tubuhnya menggeliat. Bulu kuduknya dirasakannya berdiri. Ia tak sanggup menahan gairahnya yang bangkit menggelora. Gairahnya mengalahkan akal sehatnya. Selama ini ia tak pernah merasa memiliki penyimpangan dalam orientasi seksual. Yuda tak pernah merasa terangsang secara seksual pada laki-laki. Saat melihat cowok-cowok itu hanya bercelana dalam saja ke kamar mandi ia tak merasa tertarik. Saat melihat cowok-cowqok itu mandi bareng telanjang bulat ia merasa jengah. Namun ternyata saat ini, ia terangsang hebat oleh perlakuan kedua cowok itu padanya. Kontolnya mengeras dan berdenyut-denyut dalam genggaman Darwin dan jilatan lidah Ali. Diantara rangsangan yang dialaminya, Yuda merasa bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Kedua cowok itu terus mengerjai Yuda. Sementara itu Ivan dan Stefanus malah semakin meningkatkan aktifitas mereka. Keduanya sudah telanjang bulat dan saling menjilat kontol temannya. Mereka melakukan 69 diatas karpet. Suara kecipak dari mulut mereka terdengar keras. Keduanya rupanya sedang asik melakukan seruputan batang kontol. Diselengkangannya, Ali semakin agresif memuluti batang kontol Yuda. Batang kontol Yuda asik dikulum dan dihisapnya. Darwin tak lagi melakukan kocokan pada kontolnya. Tangan cowok itu bergerilya meremas pahanya, sambil mulutnya asik menetek di dada Yuda yang sudah telanjang. Kaos yang dipakai oleh Yuda tadi sudah dilepaskan Darwin. Dan Yuda rela saja ditelanjangi oleh cowok ganteng itu. Kelakuan Ali semakin binal. Paha Yuda kini dikuaknya lebar-lebar. Mulut dan lidahnya menyerbu buah pelir Yuda. Dan yang lebih nakal lagi sesekali lidahnya menjilat dan menyedot celah pantat Yuda. Cowok Makassar itu benar-benar keenakan. Ia belum pernah ngentot dengan siapapun. Diperlakukan Ali seperti itu tentu saja membuatnya tergila-gila. Apa yang dilakukan Ali padanya tak dihiraukannya lagi. Termasuk saat cowok asal Magelang itu mulai menyodok-nyodok celah lobang pantatnya dengan jari. Saat Ali berkonsentrasi di daerah celah pantat dan buah pelir Yuda, Darwin menggantikan posisi Ali memuluti batang kontol Yuda. Cowok ganteng yang sangat jantan itu dengan lahap menghisap batang kontol Yuda. Tanpa ragu atau merasa jengah melakukannya pada makhluk yang sama-sama sejenis dengannya. Darwin sangat menikmati kontol Yuda yang besar dalam mulutnya. Saking seriusnya memuluti batang Yuda tak diperdulikannya lagi ludahnya yang sudah membanjir, meleleh dari batang besar itu.
Sembilan
“Van, entot gua dong,” tiba-tiba terdengar Stefanus ngomong dalam desahannya. Seperti tadi, Yuda kembali kaget. Tak disangkanya pergumulan para cowok ganteng dan jantan ini akan sampai ke sana juga. Dikiranya tadi para cowok ini hanya sekadar saling membantu mengeluarkan sperma dengan melakukan kocokan kontol atau melumat kontol temannya. Rupanya tak hanya itu. rupanya tempat kos para homo. Tempat para cowok bermain cinta dengan sejenisnya. Pantas saja dalam selebaran pengumuman kos mereka terdapat kata-kata dijamin bebas dari narkoba en pergaulan bebas mahasiswa-mahasiswi. Rupanya mereka melakukan pergaulan bebas tidak dengan mahasiswi disini. Tapi dengan sesama mahasiswa. Cowok bercinta dengan cowok. Tak perlu cewek disini. Lalu mengapa tadi mereka mengaku ngapel ke tempat ceweknya pada Yuda tadi? Apakah itu hanya sekadar kebohongan semata? Yuda tak tahu jawabnya. Yang pasti saat ini Yuda sedang menungging pasrah di lantai dengan bertumpu pada kedua tangan dan kakinya. Dibelakangnya Ali sibuk menjilati lobang pantatnya. Sementara dibawahnya Darwin terus menyelomoti batang kontolnya. Tepat dibawah muka Yuda, paha mulus dan berotot milik Darwin mengangkang lebar. Kontol besarnya berdiri tegak bergoyang-goyang. Berkali-kali Yuda melirik batang besar segeda timun itu. Ia merasa tergoda untuk merasakan batang itu dalam mulutnya. Namun perasaan jengahnya masih ada. Ia masih merasa aneh bila kontol milik cowok lain masuk ke dalam mulutnya. Akhirnya dibiarkannya saja kontol itu tetap mengacung tegak disana. Diantara merem meleknya ia masih sempat memandangi Ivan dan Stefanus yang kini sedang asik bersenggama melalui anus. Duduk diatas pangkuan Ivan yang juga duduk di sofa, dengan penuh semangat Stefanus menggoyangkan pantatnya naik turun dengan cepat dan keras. Mengeluar masukkan kontol Ivan yang sebesar terong dalam lobang pantatnya yang penuh bulu itu. Yuda benar-benar tak percaya, kontol Ivan yang sebesar terong itu bisa masuk seluruhnya dalam celah lobang pantat Stefanus yang sempit. Dalam pandangan Yuda, sepertinya Stefanus sangat menikmati entotan kontol Ivan dalam lobang pantatnya itu. Erangan-erangannya menunjukkan ia sangat keenakan saat Ivan yang memeluk pinggangnya dengan erat itu menggoyang-goyangkan pantatnya membalas goyangan Stefanus. Selangkangan Stefanus yang meski hitam namun mulus itu terlihat sangat kontras dengan batang kontol dan selangkangan Ivan, si Arab, yang putih mulus berbulu lebat itu. Racauan Stefanus dan Ivan diantara erangan mereka, menjawab pertanyaan Yuda tentang cowok-cowok itu. “Gimanah Vanhh. Enakhh.. sshhh…,” kata Stefanus. “Ouhh… enak banget. Ahhh… ahhhh..,” “Enak mana sama memek Fanny, cewek elo? Ohhh…,” “Enak ini dong… ahhh… lebih sempit. Lebih njepit…shhh… lebih keras cengkeramannyahhh.. ouhhhh… ada kontol ama pelernya lagihhh… ihhh… gue kocok nih kontol elohhh… ohhh..,” racau Ivan. Ternyata mereka ini bukan homo tulen rupanya. Penghuni ini rupanya rombongan cowok biseks, yang bisa menikmati memek cewek tapi lebih doyan silit cowok yang memang lebih menjepit dan memiliki kemampuan mencengkeram yang kuat.