Jumat, 27 Februari 2015

Berteduh di Pos Jaga Polantas (bagian 1)

Cerita ini hanyalah rekaan semata, kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. PERINGATAN: Konten ini mengandung materi dewasa dan homoseksualitas. Jika Anda tidak dapat menerima materi ini, segera tinggalkan blog ini.

Sebagai tulisan pertama, ini adalah salah satu khayalan saya untuk bisa bermain dengan seorang polantas. Hingga sekarang saya belum pernah berteman dengan polantas, jadi mohon maaf kalau ada kekeliruan.

Malam itu aku berjalan seorang diri di pinggir salah satu jalan raya yang cukup besar di Surabaya. Udaranya cukup dingin, sepertinya mau hujan, namun entah kenapa aku ingin berjalan-jalan. Saat itu jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, dan lalu lintas sudah cukup sepi--maklum, hari itu hari Senin. Aku berjalan tanpa tentu dan tanpa kusadari aku sudah berada di seberang kebun binatang. Perutku mendadak lapar; sepertinya ada yang jual makanan di seberang sana. Maka, berhubung sepi, aku mencoba menyeberang jalan di depan pos polantas. Sepertinya sih kosong...

"Mas!" seseorang memanggilku dengan suara lantang. "Lain kali nyeberangnya di jembatan ya, tuh ada jembatan penyeberangan! Untung jalanan sepi." Aku menoleh dan melihat seorang polantas berdiri di depan pos jaganya. "Iya Pak, maaf, lain kali tidak saya ulangi," jawabku sesopan mungkin. "Sendirian saja Mas?" tanyanya. Aku mengangguk. "Malam-malam begini? Nggak kerja besok?"

"Nggak Pak, saya kebetulan masuk agak sore nanti," jawabku asal-asalan. Selagi berbicara, kuamati polisi itu. Masih juga dengan balutan seragam dinas hariannya yang berwarna coklat itu, tingginya sekitar 180 cm dan beratnya kutaksir sekitar 75 kg. Saat itu pencahayaan agak temaram, namun kulihat kulit wajahnya coklat bersih; dari logatnya bisa kukira ia orang Jawa juga, mungkin orang Madiun. "Bapak sendiri juga sendirian?"

"Iya, teman saya mendadak sakit jadi malam ini saya sendirian," jawab polisi itu ramah. "Ayo masuk, di sini saja ngobrolnya..." Mendadak turun hujan yang cukup deras. Aku pun kalang kabut masuk ke pos jaganya. "Nah untung sekali kamu ada di dekat sini, coba nggak bisa masuk angin kehujanan tuh!" ujar pak polisi itu. "Iya Pak," sahut saya sambil tersenyum kecut. "Pas nggak bawa payung pula..."

"Tunggu di sini saja Mas sampai hujannya berhenti. Hitung-hitung nemani saya." Wah, kesempatan langka nih, pikirku. Akhirnya bisa ngobrol dengan seorang polantas! Syukur-syukur kalau nanti bisa berteman, lebih syukur lagi kalau ia ternyata gay, hehehe... "Permisi," ujarku sopan. Polisi itu mempersilakan aku masuk. "Duduk sini Mas," ujarnya sambil menunjuk kursi panjang di sebelahnya. "Saya tutup dulu pintunya ya, takut masuk ntar airnya." Memang saat itu angin cukup kencang ikut menemani hujan di dini hari buta itu. Setelah menutup pintu, ia duduk di sebelahku dan kami pun berkenalan. Namanya Samuel, umur dua puluh tujuh tahun, dan sudah selama tiga tahun bertugas di Surabaya. Kami pun mulai ngobrol hal-hal yang ringan, mulai dari cuaca Surabaya yang tak menentu akhir-akhir ini, pekerjaan (dari situ aku tahu dia kebanyakan dapat dinas malam), isu politik yang sedang hangat tentang Jogjakarta, sepak bola AFF Cup (walaupun aku tak terlalu suka sepak bola), sampai ke gosip artis. Selagi ngobrol, sesekali aku mencuri pandang ke badannya. Badannya cukup terawat; lencana kepolisian menutupi salah satu dada bidangnya yang ranum. Perutnya tidak buncit seperti polisi yang sudah berumur pada umumnya, dan yang lebih penting lagi, tonjolan selangkangannya. Beberapa kali kucuri pandang ia memegang daerah pribadinya itu, entah sekedar menggaruk atau membetulkan posisinya. Semuanya itu kulakukan diam-diam, sampai akhirnya...

"Mas sudah punya pacar?" tanya Samuel si polantas.

"Belum Mas," jawabku. Aku tidak lagi memanggilnya Pak setelah tahu ia kurang lebih sebaya denganku. "Kalau Mas sendiri?"

"Belum juga," jawabnya. "Siapa yang mau sama polantas..."

"Ah masa sih Mas? Mas kan tampan, bodi oke pula!" Sejenak aku tersentak sendiri, ucapanku agak menjerumus sedikit. Dari tadi Samuel tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia gay. Samuel tertawa lepas mendengar perkataanku. "Ya dari bodi sih saya memang oke, cowok pun banyak yang suka! Kamu suka juga nggak sama saya?" Degg... jantungku berdetak keras. Sejenak aku tertegun mendengar pertanyaannya barusan. Nggak salah dengar kah aku?

"Mas? Mas?" aku terhenyak ketika Samuel memanggilku. "Kenapa Mas? Kaget ya?"

"Oh nggak kok Mas..."

"Nggak usah kaget Mas, saya sendiri tadi juga malu, tapi dari tadi Mas ngliatin saya terus." Sontak wajahku memerah malu, tapi segera ia mengusap wajahku dan melanjutkan perkataannya, "Nggak usah malu. Saya tadi juga was-was kalau kamu bukan seperti yang saya kira, soalnya saya lihat kontolmu agak ngaceng sedikit. Tapi untungnya dugaan saya salah. Kamu nggak kaget kan?"

"Nggak kok Mas..." jawabku pendek. "Kalau begini kaget nggak?" Samuel mengulurkan tangannya ke atas selangkanganku dan mengelus-elusnya. Akhirnya!, jeritku dalam hati. Aku memberikan senyumku yang paling manis dan Samuel membalasnya. "Dah, nggak usah sungkan-sungkan, kamu pasti mau juga kan?" Ia memegang tanganku dan membimbingnya ke tonjolan selangkangannya yang terbalut celana coklat ketat khas polantas. "Beri aku kehangatan malam ini Mas..." pintanya.

Semula aku agak malu-malu, namun akhirnya aku mulai meremas-remas kontolnya. Polantas itu bersandar santai pada kursinya sambil memejamkan mata dan menikmati rangsanganku pada organ vitalnya. Kuremas-remas kontol polantas itu dengan lembut sambil kurasakan dalam tanganku kontolnya mulai bangun dengan cepat. "Besar ya punya Mas," bisikku.

"Punyamu juga besar kok," bisiknya balik sambil meremas-remas balik kontolku yang sudah bangun sedari tadi. "Enak nih ngisep punyamu. Sudah lama saya nggak ngisep kontol."

"Isep aja Mas," rintihku karena ia memainkan bola-bolaku, bagian yang paling sensitif dari kontolku. Kubalas dengan remasan yang sama, dan ia mengeluarkan suara jantannya. "Mas mau kuisep juga kah?" Polantas itu mengangguk. "69?"

"Nggak usah Mas, biar saya dulu yang melayani Mas," jawab Samuel. "Lho jangan mas, bareng-bareng aja biar enak," sergahku. "Nggak apa-apa, saya tahan lama kok," jawabnya. "Lagipula slogan saya, melayani masyarakat sepenuh hati. Termasuk melayani hasratmu..." Ia membimbingku tiduran di kursi panjang di pos itu; hujan masih menderu di luar pos. Sejenak ia meraba-raba tubuhku, dan aku pun mengerang nikmat. Kemudian ia menindih badanku dan memagut bibirku. Kami pun berciuman sementara polantas itu menggesek-gesekkan kontolnya dengan kontolku; sesekali kubantu dengan mengusap-usap pantatnya yang ranum itu. "Enak Mas?" bisik Samuel. Kujawab dengan ciuman lagi untuk beberapa lama, baru kemudian Samuel bangkit. "Takisep ya Mas." Aku mengangguk. Ia pun membuka resleting celana jinsku, membuka sedikit celana dalamku sampai akhirnya kontolku menyembul keluar. Polantas itu memegangi kontolku dengan tangan kanannya, dan mulailah ia menjilati kontolku. Aku serasa melayang terkena sensasi jilatannya...

(bersambung)




Sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar