Sabtu, 18 Desember 2010

Andai

Tony adalah temanku sejak kecil. Kami bertetangga, sudah satu sekolah sejak kelas 4 SD, SMP dan SMA pada sekolah yang sama walaupun hanya beberapa tahun saja sekelas. Namun kami selalu bersama-sama kalau ke mana-mana, dua sahabat yang tidak bisa lepas.
Terus terang, aku memiliki otak yang sedikit lebih encer dibandingkan Tony, mungkin ini salah satu penyebab kami agak jarang sekelas, karena aku selalu masuk ke kelas unggulan, sedangkan Tony masuk dalam kelas biasa-biasa saja, tapi karena kami bertetangga maka tidak ada waktu untuk berpisah, selain pergi dan pulang sekolah, kami juga sering belajar bersama, dibumbui jalan-jalan ke hutan bersama. Hobi inilah yang paling tepat untuk menyatukan kami, sama-sama senang main ke hutan, berkemah dan mendaki gunung.
Selepas SMA, aku diterima masuk suatu PTN tanpa test, suatu tempat yang jauh dari kota kami berasal. Sedangkan Tony masuk lewat jalur UMPTN pada universitas dan program studi yang sama denganku. Alangkah senangnya kami berdua, juga keluarga kami. Makanya pada saat keberangkatan ke kota tersebut, uwak, sebutanku untuk Ibu Tony mewant-wanti Tony agar rajiin belajar dan menitipkan anaknya pada Tony padaku (karena aku masuk tanpa test, tentu aku dulu yang harus datang ke universitas tempat kami belajar, sedangkan Tony baru berangkat bersama-sama denganku setelah lulus UMPTN).
“Ingat ya Ton, kami mesti nurut kata Andy, kamu harus rajin belajar, rajin-rajin ibadah, contoh Andy........... ingat sopan santun di negeri orang” ujar uwakku berkali-kali.
Aku dan Tony menyewa sebuah rumah petakan (agak terlalu mewah kalau disebut rumah, sebab hanya satu kamar, satu ruang tamu dan satu dapur), tepatnya bedeng. Kami tidur bersama dengan satu tempat tidur.
Aku menyadari, bahwa ada yang tidak beres dalam diriku. Ketika SD aku belum mengerti apa itu, ketika SMP aku sangat menyukai melihat pria tampan dan pintar, kalau ada yang seperti itu di sekolah, pasti aku akan berjuang mati-matian agar dia menjadi temanku, dan menjadi sangat cemburu ketika ada yang menjadi sahabatnya, ketika SMA aku mulai menyadari kesukaanku pada pria. Hanya itu yang aku tahu. Tapi aku sangat suka melihat pria yang tidak pakai baju, terangsang melihat alat vital pria, bahkan bermimpi bercumbu dengan pria.
Mula-mula aku menganggapnya biasa saja, karena aku yakin seiring dengan berjalannya waktu, aku akan berubah dan menjadi pria sejati dan kemudian beristri.
Namun kapan?, aku sudah berusaha dengan sekuat tenaga menjadi pria sejati itu, aku mulai berusaha untuk pacaran, banyak cewek yang mendekatiku dan salah satu dari mereka menjadi “beruntung” menjadi kekasihku. Namun hatiku hampa, kosong......... aku lebih suka jika Dedy mengajakku ngobrol, Anton merangkulku atau Leman tidur dikamarku dibandingkan aku ngobrol berdua dengan Tari pada saat aku mengapeli dia.
Aku lebih suka mandi disungai berdua telanjang bulat dengan Tony pada saat jalan-jalan ke hutan, bertemu para pemburu babi yang berkeringatan di hutan sambil telanjang dada. Aku merasa tidak ada yang aneh dalam hidupku...........
Tapi aku tidak berani macam-macam dengan Tony. Dia adalah sahabatku, walaupun dia sangat tampan dan banyak di kejar-kejar cewek aku tidak jatuh cinta pada dia. Aku memang membayangkan betapa bahagianya dipeluknya di belainya dan dia mengatakan bahwa dia cinta aku............ tapi aku tak akan pernah berani melakukannya pada Tony. Aku menghormati dia. Kami hampir tidak ada rahasia, atau tepatnya Tony hampir tidak ada rahasia denganku, semua permasalahan diceritakan padaku. Namun untuk “yang satu itu” aku tidak akan pernah mengatakannya pada orang lain.
Hidup jauh dari orang tua memberiku sesuatu kekuatan dan keberanian. Namun tidak ada yang berubah dalam diriku dalam hal cinta............ kegundahan yang begitu pedih, kekecewaan demi kekecewaan yang aku dapatkan......... aku butuh kasih sayang. Inilah kepedihan itu .... Aku ingin mengatakan ini pada seseorang, tapi pada siapa... siapa yang akan perduli.
Begitu banyak puisi-puisi pedih yang lahir dari tanganku, kisah tangisan akan cinta yang tak pernah tercapai..........., aku ingin berbagi dan mendengarkan. Namun rasa hampa itu kian lama kian panjang...... tanpa pernah ada jawaban.........
Sampai………………..
Suatu sore sabtu aku sedang duduk melamun sendirian diteras, Hujan rintik-rintik, jalanan sepi, suara air hujan yang jatuh di atap seng seolah-olah mengiris hatiku. Tony menghampiriku “Andy, kenapa kamu?, kelihatannya murung betul ?. Dia duduk disampingku, kakinya diangkat juga seperti aku sambil menghadap ke jalan.
“Nggak apa-apa Ton, biasa saja” aku menjawab sekenanya. “Tapi aku lihat, kamu akhir-akhir ini sering murung, tidur kamupun gelisah sekali, ada apa sih sebenarnya ?” Tony berusaha mengejarku.
“Nggak apa-apa koq, swear…..”. kataku lagi. “Ah yang bener dy... ayo dong, kalau ada apa-apa, janganlah ragu-ragu ngomong sama aku......... kalau aku ada apa-apa juga, kan ngomongnya sama kamu juga dy..............” Tony memandangku “ atau .....kamu tidak percaya sama aku dan kamu lebih percaya orang lain?”
Dhuar, bagai dilanda petir rasanya, aku balik memandangnya. Sembilan belas tahun lamanya kami bersama, tidak pernah ada kata-kata yang begitu tajam yang pernah dikeluarkan Tony. “Kamu tidak akan mengerti Ton……” kata-kataku bagai bisikan. “Karena aku tidak sep kamu, begitu maksud kamu!” pandangan Tony kian tajam. “Tidak Ton, jangan ucapkan itu…. Tidak pernah ada kata-kata itu dalam hatiku, percayalah……..” suaraku semakin lirih.
Tony mendekatkan wajahnya ke depan wajahku, mukanya merah padam, tangannya mencengkram bahuku. “Aku memang tidak sep kami, tapi aku punya perasaan, aku hanya ingin membantu kamu, membebaskan beban yang ada di dalam dadamu, karena kamu sahabatku, aku tak ingin ada orang lain yang lebih tahu tentang diriku dibandingkan aku. Apa kata orang nanti…………, apa kata orang tua kita…………. Kita bersama, tetapi tidak saling memahami”.
Tony orang yang tegar dan kuat, tapi kali ini tangannya gemeter. Haruskan aku bercerita pada Tony akan diriku. Aku rasanya begitu kotor, aku hampir menangis. “Kamu harus janji untuk tidak menceritakan ini pada siapapun” Tony mengangguk” tidak pada siapapun...............”. Tapi aku masih mencoba memalingkan wajahku ke jalan, tapi tangan Tony mengarahkan wajahku menghadapnya, ditekannya pipiku kuat-kuat. Aku ingin dilakukan Tony sekali lagi.
Aku bercerita bukan karena aku ingin cerita, tetapi karena Tony ingin mendengarkan. Ku mulai ceritaku pada saat SD, SMP, SMA dan kini.........., mula-mula dengan kata-kata yang gugup dan terbata-bata, kemudian semakin lancar............, namun semakin pedih. Ketika sampai pada kalimat ....... kemudian aku menyadari bahwa aku adalah seorang yang cenderung menyukai pria............ kulihat mata Tony membelalak, .........”tapi aku tidak butuh seks itu, aku hanya ingin didengarkan, mendengarkan dan dikasihi sebagaimana manusia biasa.......... dan aku juga ingin belajar menjadi laki-laki sejati...............”
Tony memandangku, mula-mula membelalak kemudian menunduk sedikit-demi sedikit. Aku diam, ada diam yang lama diantara kami, diam yang menyakitkan, diam yang mengiris hati……..
“Aku tidak mengerti dy……..” Tony berbisik, tapi bagiku lebih keras dari bentakan. “aku sudah bilang, kamu pasti tidak akan mengerti………….., tapi kamu tetap memaksa……..” kini suaraku seperti orang meratap. Aku memegang pundak Tony, aku kaget karena Tony menepiskannya dengan kasar. “Aku tidak bisa......... dan aku tidak akan pernah bisa mengerti itu............” Tony mendorong kursinya ke belakang hingga terbanting. Aku tertegun, Tony masuk ke dalam. Aku tidak berusaha mengikuti dia. Aku tahu aku salah, aku tahu aku bodoh, seharusnya aku mengerti bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengerti itu. Aku memang bodoh.... aku menyesali diriku sendiri....... tak seharusnya aku percaya orang lain diluar diriku sendiri..........
Beberapa waktu kemudian, Tony keluar rumah dengan tas yang biasa dibawanya. Tepat pada saat adzan menggema. Tony tidak menoleh dan aku tidak bertanya, aku akan bertanya pada Tuhan saja...........
Aku menangis sepanjang malam, aku ingin mati, tapi membayangkan kepedihan orang tua dan saudara-saudaraku, menghentikan fikiran gila itu. Tony tidak pulang malam itu, tanpa kata-kata dimana dia tidur, hal yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya.
Besoknya pagi-pagi pintu diketuk. Tony datang, aku hampir berteriak kegirangan dan bersyukur, “Andy......., aku mau pindah, sudah ada teman yang bersedia menampungku tinggal di tempat kostnya, nanti jam 10 barang-barangku akan kubawa”. Aku surut, aku hampir pingsan, aku sedih.... aku. Tapi yang keluar dari mulutkan adalah “silahkan Ton, tapi maaf, jam 10 nanti aku ada acara belajar dengan teman-teman”. Tidak ada kebodohan lain yang dapat kubuat, Tony tahu siapa temanku, teman belajar kami dan dia tahu bahwa tidak ada belajar di hari minggu ...., tapi tidak ada kata-kata, Andy kembali pergi.
Aku langsung berlari ke kamar mandi, setelah mandi kuambil ranselku dan berlari meninggalkan rumah. Kami masing-masing punya kunci, tentu Tony tidak berkeberatan aku tidak disana pada saat dia pindah. Dia boleh bawa apa saja.
Aku berlari ke sawah, tempat favoritku tempat yang jauh dari bedeng tempat tinggal kami, tempat yang biasa aku dan Tony kunjungi. Ku ikuti sungai kecil yang mengalir. Di bawah pohon aku berhenti, aku duduk, aku merenung, aku menangis. Tony adalah gambaran manusia normal pada umumnya yang merasa jijik mendengar kata-kata homoseks dan gay, yang memandang seorang gay adalah seorang yang hanya ingin memuaskan nafsunya pada semua pria, yang memandang bahwa pria gay hanya memikirkan seks-seks dan seks saja..........
Tapi Tony tidak salah, gambaran itulah yang ditampilkan seorang pria gay dimana-mana. Air mataku mengalir deras, jauh lebih deras dari sungai kecil yang berada didepanku. Kenangan yang indah kami berdua seperti hilang, seperti air mengalir di depanku, membawa lembaran daun yang hanyut. Pedih sekali. Tony ………… semuanya hilang dalam sekejap tanpa arti bagi dirimu, tapi bagiku begitu menghancurkan…………. Kami adalah rel, selalu bersama, tapi untuk hal itu, tidaklah mungkin kami menyatukan jalan……… seharusnya aku menyadari itu..... Tidak akan ada lagi rel itu, aku membayangkan harus pulang sendirian setiap kali liburan, dan semua orang di kampung akan bertanya kenapa……. Kemudian orang-orang mulai bertanya langsung ke Tony……. Kemudian Tony menjelaskan pada mereka………. Kemudian mereka tahu………. Kemudian….. kemudian……… kemudian…………kemudian…………kemudian…………. Karena capek aku tertidur.
Aku tak tahu berapa lama aku tertidur, namun aku tersentak ketika terdengar suara bebek yang ramai yang berada di dekatku. Seorang tampak seorang pria sedang mengambil rumput tidak jauh dari tempatku duduk. Melihat aku bangun dia tersenyum.
“wah, maaf mas, bunyi bebek itu membangunkan mas, atau aku yang membangunkan mas?”, katanya sambil mengusir bebek tersebut jauh-jauh. “tidak ada-apa” kataku sambil tersenyum. “nama saya Pardi, saya sedang mengambil rumput untuk kambing saya” katanya sambil mengulurkan tangannya. Buru-buru kuulurkan tanganku “Andy…”
“Kelihatannya mas lagi banyak fikiran, karena selama tidur tadi mas marah-marah dan berteriak-teriak……..” tentu saja aku kaget “masa ?...”. “Iya mas, tapi saya tidak berani membangunkan, takut mengganggu mas…………..”. Kutatap pardi. Kulitnya yang hitam tampak kokoh, otot-ototnya menonjol keras, perutnya terlihat indah. Aku membayangkan butuh waktu berbulan-bulan di fitness untuk membentuk perut seperti itu.
“Ah, enggak koq, saya Cuma mimpi saja…….” Aku menjawab gugup. “tidak ada yang perlu disembunyikan mas, mungkin ada yang bisa saya bantu……….”
Membantu? Apa yang bisa dibantu si penggembala kambing ini, tidak ku kenal dan dia tidak mengenalku. Tony saja sahabatku bertahun-tahun belum bisa mengerti aku, apalagi dia. Tetapi justru dengan pardi ini aku bisa bebas cerita, kalaupun dia pergi, aku juga nggak kenal dia.........., nothing to loose
Kemudian aku bercerita, tentang aku, tentang persahabatan, tentang cinta dan tentang ketidak mengertian……… tapi aku tidak menyebutkan bahwa aku seorang gay………. Aku bercerita apa adanya, kecuali yang satu itu, karena aku membaliknya tentang mencintai seorang gadis dan ditolak………
Ketika aku selesai, Pardi tersenyum. “Mas Andy, kurasa kita seumur. Namun apa yang kamu miliki jauh lebih banyak dari yang pernah aku miliki…… apa yang kamu dapatkan jauh lebih banyak dari yang pernah aku dapatkan………..” Pardi terseyum melihatku. “Pernahkah mas Andi bersyukur untuk itu …………”
“Untuk yang mana?” Gugup aku menjawab. “ Untuk semua yang telah mas Andy miliki dan dapatkan tentu” Pardi tetap tersenyum.
“Mas Andy tahu, aku dilahirkan tanpa mengenal siapa Bapakku. Ibuku pergi menjadi pembantu ke Jakarta tanpa terdengar sedikit beritapun darinya. Aku dititipkan pada orang lain yang tidak ada hubungan apa-apa dengan diriku. Mereka bukan orang kaya, bukan pula orang yang tidak memiliki anak” Ku pandangi mata Pardi mulai berkaca-kaca. “Tapi aku hidup, sesuatu yang patut kusyukuri, walaupun aku hanya pencari rumput tanpa pernah mengecap bangku sekolah, tapi aku bisa membaca dengan belajar sendiri........ tapi suatu saat aku harus menjadi pria yang memiliki istri dan anak dan aku akan mencintai mereka........., tanpa sedetikpun membuang mereka seperti mereka membuang aku..........”.
Tiba-tiba terbayang keluargaku yang bahagia, walaupun tidak kaya tetapi cukup, kakak dan adikku yang menyayangiku, otakku yang cemerlang...... dan banyak hal yang tidak dimiliki Pardi menari-nari di depan mataku.........
“Kita memang sering menangisi apa yang tidak kita punya, akan tetapi tidak pernah bersyukur atas apa yang kita miliki...............”. Kemudian Pardi pergi sambil menyalamiku, tapi jiwanya tetap berada dalam diriku.........
Tangisku tiba-tiba kering. Mengapa harus ada air mata ini? Mengapa tidak aku kalahkan diriku dan belajar menjadi pria yang mencintai wanita…………
Biarlah aku kehilangan Tony, tapi tidak akan kehilangah hidupku, aku akan menjadi bermanfaat buat orang lain........ aku bisa membagi pengetahuanku pada semua orang, membagi cintaku pada semua orang................
Dan aku akan membuktikan pada Tony dan semua orang, bahwa aku bisa belajar menjadi pria yang sesungguhnya, masih banyak jalan yang dapat kutempuh. Aku tak perlu menangisi kepergian seorang Tony, yang telah menjadi bagian hidupku begitu lama. Begitu mudahkah?, aku tahu itu tidak mudah, akan ada air mata-air mata lain yang akan menyusul setelah kepergian Tony, namun aku tak perlu meratap untuk itu.
Perjalanan hidup kami berkelebat dalam fikiranku, persahabatan kami. Semua kisah yang tersusun, seharusnya bukan aku yang bersedih karena kami menjauh. Namun seharusnya Tony yang akan menyesali itu. Jujur saja, lebih banyak manfaat yang Tony dapatkan karena “memiliki” aku daripada sebaliknya. Tony sudah memutuskan memang, biarlah kuarungi hidupku sendiri, dan marilah kita lihat Tony, siapa yang lebih dibutuhkan. Kalaupun kisah harus menghantarkan kamu untuk bertemu kembali, aku akan menerima, tapi takkan sedekat dulu. Aku berjanji untuk itu.
Tony, seharusnya kamu dapat menjadi sahabatku yang sesungguhnya disaat aku membutuhkan, tapi kamu bertindak sebaliknya. Tapi memang seharusnya juga aku tak perlu terluka, karena Tony benar-benar tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi aku harus jalan dan menyelesaikan kuliahkku, karena aku mampu selesai cepat dan pergi dari Tony.
Namun tekadku sudah satu. Suatu saat nanti, aku akan bertemu Tony, dan pada saat itu aku akan memperkenalkan Tony pada anak dan istriku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar